jpnn.com - JAKARTA - Pengetatan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia (BI) akan membawa konsekuensi serius. Menaikkan suku bunga BI Rate ibarat menginjak pedal rem laju pertumbuhan ekonomi.
Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Ariefianto mengatakan, kenaikan BI Rate hingga level 7,5 persen membuat target pertumbuhan ekonomi yang tahun ini dipatok pemerintah di kisaran 5,8 persen menjadi tidak realistis.
BACA JUGA: Proyek JSS, Dahlan Iskan Tunggu Instruksi
"Naiknya BI Rate menjadi sinyal melambatkan ekonomi di akhir tahun. Target pertumbuhan realistis saat ini adalah 5,0 - 5,5 persen," ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (13/11).
Menurut Doddy, pemerintah, pelaku usaha, maupun pelaku pasar, kini harus realistis bahwa upaya pengendalian defisit transaksi berjalan (current account) memang harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi. "Ibaratnya, jangan berharap ekonomi bisa lari kencang kalau kakinya diikat," katanya.
BACA JUGA: Asing Borong Surat Utang
Doddy menyebut, gerak cepat roda perekonomian Indonesia hanya bisa terjadi jika ditunjang dengan impor, baik impor barang modal, bahan baku, maupun barang konsumsi. Sayangnya, ekspor Indonesia belum bisa beranjak naik. Sehingga, jika impor dibiarkan tinggi, defisit transaksi berjalan akan makin parah. "Karena itu, solusi jangka pendeknya adalah mengerem impor," ucapnya.
Selain itu, lanjut Doddy, kenaikan BI Rate juga akan berimbas pada kenaikan suku bunga simpanan, selanjutnya suku bunga kredit. Naiknya bunga kredit akan berdampak pada turunnya permintaan kredit dari pelaku usaha. "Perlambatan kredit termasuk yang diinginkan BI," sebutnya.
BACA JUGA: SBY Dukung Mobil Listrik Dikembangkan di Indonesia
Doddy mengatakan, sebagai institusi yang menjadi garda terdepan dalam pengendalian moneter, BI memang harus mengambil risiko perlambatan ekonomi dengan menaikkan BI Rate.
"Tapi, kalau kita cermati, ini sebenarnya salah sektor riil yang tidak tidak bisa memperbaiki diri, sehingga BI terpaksa turun tangan," ujarnya.
Misalnya, kata Doddy, besarnya impor bahan pangan, impor BBM, maupun impor berbagai barang konsumsi, sebenarnya sudah diidentifikasi sejak bertahun-tahun lalu. Sayangnya, sektor riil tidak bisa memperbaiki itu.
Sementara kinerja ekspor terhambat karena sektor riil tidak bisa menciptakan nilai tambah. Contohnya, aturan larangan ekspor bahan tambang mentah, hingga kini belum efektif. Padahal, jika ekspor bisa bisa dilakukan dalam bentuk barang jadi, nilainya akan jauh lebih tinggi. "Jadi, kita harus memaklumi langkah BI melambatkan ekonomi," ucapnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, kenaikan BI Rate tidak menyurutkan optimisme pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,7 - 5,8 persen. "Kuncinya adalah pertumbuhan ekonomi di triwulan IV, ini yang akan kita jaga," ujarnya.
Bambang menyebut, salah satu langkah yang akan ditempuh pemerintah adalah kembali mengeluarkan paket kebijakan untuk mendorong investasi. Dengan begitu, perlambatan pertumbuhan ekonomi bisa diminimalisir. "Tapi, ini bukan solusi instan," katanya.
Doddy menambahkan, paket kebijakan untuk menggaet investasi memang tidak akan bisa memberi dampak jangka pendek. Sebab, sejak paket insentif investasi diluncurkan, pelaku usaha mungkin butuh waktu 6 - 12 bulan untuk mulai merealisasikan investasi.
"Paket insentif yang sebelumnya sudah dirilis, termasuk paket insentif yang akan dirilis Desember nanti, dampaknya baru akan terasa tahun depan," ucapnya. (owi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Permen Mobil Listrik Segera Terbit
Redaktur : Tim Redaksi