JAKARTA - Kenaikan harga yang bertubi-tubi, membuat ekonomi mayoritas keluarga Indonesia memasuki ‘lampu kuning’. Tragedi ini juga terjadi pada ekonomi makro yang selama ini dibangga-banggakan. Jika tidak diambil langkah-langkah antisipasif yang tepat dan cepat, tidak mustahil ekonomi Indonesia akhirnya benar-benar memasuki ‘lampu merah’.
“Kenaikan harga yang bertubi-tubi pasca dinaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan kenaikan harga selama bulan puasa benar-benar memukul ekonomi rumah tangga sebagian besar rakyat Indonesia. Tambahan pula, beberapa indikator makro ekonomi semakin negatif. Jika tidak hati-hati, bisa meningkatkan ketidakstabilan ekonomi,” kata ekonom Rizal Ramli, di Jakarta, Senin (22/7).
Berdasarkan data yang ada lanjutnya, neraca pembayaran pada kuartal pertama 2013 mengalimi defisit sebesar US$6,6 miliar. Transaksi berjalan juga mengalami defisit sebesar US$5,3 miliar. Sementara itu, neraca modal defisit sebesar US$1,4 miliar. APBN 2013 juga diperkirakan akan mengalami defisit yang lebih besar karena penerimaan pajak pada semester I-2013 tidak tercapai, baru sekitar 42 persen dari target. Sampai Juni 2013, penerimaan pajak baru Rp411,39 triliun. Dalam APBN-P 2013, target penerimaan negara dari pajak dipatok Rp995 triliun.
Menurut Capres paling reformis versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) itu, seharusnya pemerintah bisa mencegah Indonesia memasuki fase bahaya. Sejak belasan tahun silam, Indonesia selalu mencatat posisi positif untuk sejumlah indikator ekonomi makro. Pada 2007, misalnya, neraca perdagangan mengalami surplus US$39,6 miliar, surplus itu turun menjadi US$26 miliar pada 2011. Kemudian anjlok menjadi US$-1,6 milyar tahun 2012 dan diperkirakan akan anjlok jadi US$-5 milyar tahun 2013.
“Pertanyaannya, kemana saja pemerintah selama ini? Mengapa tidak melakukan langkah-langkah antisipatif ketika dua tahun lalu tampak tanda-tanda peningkatan defisit? Saya prihatin, SBY dan para menteri sibuk kampanye dan memoles citra, sehingga lupa dengan tanggung jawab utamanya. Sekali lagi saya mau tanya, apa yang telah dan akan dilakukan untuk mengurangi peningkatan quatro defisit tersebut (Neraca Perdagangan, Current Accounts, Neraca Pembayaran, dan Defisit Fiskal)? Tolong jelaskan kepada rakyat yang beban hidupnya makin hari makin berat saja,” desak Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid.
Akibat berbagai indikator fundamental makro yang merosot tersebut, membuat tekanan terhadap Rupiah semakin besar. Padahal, bulan lalu Bank Indonesia (BI) tiap hari menggelontorkan tidak kurang US$200 juta ke pasar untuk menopang rupiah. Namun, sepanjang fundamental ekonomi tidak dibenahi, langkah itu tidak akan membawa hasil yang optimal, imbuhnya.
Ketua Umum Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) itu melihat sebetulnya masih ada harapan Indonesia keluar dari ‘lampu kuning’ ini. Caranya, antara lain dengan memanfaatkan momentum kembali terpilihnya Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe untuk kedua kalinya.
Lewat Abenomics-nya, Abe berusaha menggenjot ekonomi Jepang dengan mengeluarkan stimulus fiskal dan moneter yang agresif.
"Thailand sudah berhasil memanfaatkan momentum ini. PM Thailand berkunjung ke Jepang dan pulang membawa komitmen investasi Jepang di negaranya sekitar US$60 miliar. Sayangnya rezim ini tidak bisa memanfaatkan momentum tersebut, karena terlalu sibuk memoles diri sehingga tidak fokus melayani dan meningkatkan kesejahteraan rakyat," ungkap Rizal Ramli. (fas/jpnn)
“Kenaikan harga yang bertubi-tubi pasca dinaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan kenaikan harga selama bulan puasa benar-benar memukul ekonomi rumah tangga sebagian besar rakyat Indonesia. Tambahan pula, beberapa indikator makro ekonomi semakin negatif. Jika tidak hati-hati, bisa meningkatkan ketidakstabilan ekonomi,” kata ekonom Rizal Ramli, di Jakarta, Senin (22/7).
Berdasarkan data yang ada lanjutnya, neraca pembayaran pada kuartal pertama 2013 mengalimi defisit sebesar US$6,6 miliar. Transaksi berjalan juga mengalami defisit sebesar US$5,3 miliar. Sementara itu, neraca modal defisit sebesar US$1,4 miliar. APBN 2013 juga diperkirakan akan mengalami defisit yang lebih besar karena penerimaan pajak pada semester I-2013 tidak tercapai, baru sekitar 42 persen dari target. Sampai Juni 2013, penerimaan pajak baru Rp411,39 triliun. Dalam APBN-P 2013, target penerimaan negara dari pajak dipatok Rp995 triliun.
Menurut Capres paling reformis versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) itu, seharusnya pemerintah bisa mencegah Indonesia memasuki fase bahaya. Sejak belasan tahun silam, Indonesia selalu mencatat posisi positif untuk sejumlah indikator ekonomi makro. Pada 2007, misalnya, neraca perdagangan mengalami surplus US$39,6 miliar, surplus itu turun menjadi US$26 miliar pada 2011. Kemudian anjlok menjadi US$-1,6 milyar tahun 2012 dan diperkirakan akan anjlok jadi US$-5 milyar tahun 2013.
“Pertanyaannya, kemana saja pemerintah selama ini? Mengapa tidak melakukan langkah-langkah antisipatif ketika dua tahun lalu tampak tanda-tanda peningkatan defisit? Saya prihatin, SBY dan para menteri sibuk kampanye dan memoles citra, sehingga lupa dengan tanggung jawab utamanya. Sekali lagi saya mau tanya, apa yang telah dan akan dilakukan untuk mengurangi peningkatan quatro defisit tersebut (Neraca Perdagangan, Current Accounts, Neraca Pembayaran, dan Defisit Fiskal)? Tolong jelaskan kepada rakyat yang beban hidupnya makin hari makin berat saja,” desak Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid.
Akibat berbagai indikator fundamental makro yang merosot tersebut, membuat tekanan terhadap Rupiah semakin besar. Padahal, bulan lalu Bank Indonesia (BI) tiap hari menggelontorkan tidak kurang US$200 juta ke pasar untuk menopang rupiah. Namun, sepanjang fundamental ekonomi tidak dibenahi, langkah itu tidak akan membawa hasil yang optimal, imbuhnya.
Ketua Umum Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) itu melihat sebetulnya masih ada harapan Indonesia keluar dari ‘lampu kuning’ ini. Caranya, antara lain dengan memanfaatkan momentum kembali terpilihnya Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe untuk kedua kalinya.
Lewat Abenomics-nya, Abe berusaha menggenjot ekonomi Jepang dengan mengeluarkan stimulus fiskal dan moneter yang agresif.
"Thailand sudah berhasil memanfaatkan momentum ini. PM Thailand berkunjung ke Jepang dan pulang membawa komitmen investasi Jepang di negaranya sekitar US$60 miliar. Sayangnya rezim ini tidak bisa memanfaatkan momentum tersebut, karena terlalu sibuk memoles diri sehingga tidak fokus melayani dan meningkatkan kesejahteraan rakyat," ungkap Rizal Ramli. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Iskan Cek Terakhir Kesiapan Bandara Kualanamu
Redaktur : Tim Redaksi