jpnn.com, JAKARTA - Kebangkrutan ekonomi Sri Lanka dan Pakistan menjadi pelajaran penting bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Ekonomi Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai menilai peristiwa yang terjadi dibelahan lain dunia itu bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia, jika tidak ada antisipasi.
BACA JUGA: Sri Lanka Bukti Nyata Jebakan Utang China, Indonesia Bisa Jadi Korban Selanjutnya
"Pengalaman bangsa lain harus menjadi perhatian bersama bagi negara Indonesia yang sangat dinamis perkembangannya. Yang sebenarnya cukup fragile, tetapi juga lumayan strong," ucap Wijayanto dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (24/4).
Menurutnya, krisis di Sri Lanka tak lepas dari kondisi Asia Selatan yang sangat unik.
BACA JUGA: Sri Lanka Mencekam: Menhan Blokir Medsos, Menpora Melawan
Wijayanto memaparkan beberapa kondisi menjadi penyebab krisis tersebut.
Dia mencontohkan kawasan Sri Lanka dihuni oleh 25 persen penduduk bumi.
BACA JUGA: Sri Lanka Alami Kekurangan Kertas, Ujian Sekolah Dibatalkan
Hal itu menyebabkan kehidupan politik menjadi sangat mendominasi.
"Kawasan Asia Selatan sarat konflik kepentingan internal dan persaingan politik antar negara-negara Pakistan, Bangladesh dan India sendiri yang pada 1947 merdeka," ucapnya.
Kawasan itu, lanjut Wijayanto, menjadi titik strategis dari negara-negara besar Rusia, Amerika Serikat (AS) dan China. Rusia berkepentingan mencari partner negara yang mempunyai akses ke laut hangat, dan AS mencari proxy Pakistan. Untuk mengimbangi pengaruh Rusia di Asia Selatan.
Pengaruhnya, lanjut dia di Pakistan ada perseterusan AS dan China, di Nepal ada persaingan India dan China. Di Srilanka pun ada perseteruan antara India dan China.
Eks Stafsus Wapres Bidang Ekonomi itu menyebut Asia Selatan juga merupakan kawasan supplier buruh migran ke seluruh dunia. Terbesar dari India dan Pakistan baru Bangladesh dan Srilanka.
"Banyaknya buruh migran itu juga menjadi transfer devisa penting bagi negara India, Pakistan, Bangladesh, Nepal dan Srilangka," ungkapnya.
Namun, kondisi pandemi yang melanda dunia mengakibatkan transfer devisa yang semula cukup membantu bagi keseimbangan ekonomi bagi negara-negara Asia Selatan menjadi drastis menurun.
Wijayanto menilai dari sekian banyak faktor struktur ekonomi dan kondisi ekonomi Srilanka agak mirip dengan Indonesia.
"Sehingga penting membedah Srilanka amat penting bagi Indonesia sebagai pembelajaran," tegas dia.
Dia menyebut bisa disimpulkan, yang terjadi di Srilanka adalah pertama, demokrasi yang terdegradasi. Ada begitu banyak aktivitas anti demokrasi yang dilakukan para politisi Srilanka.
Akibat demorkasi yang terdegradasi, muncul politisi dan pemerintahan yang lalai dan korup.
"Hasilnya, kerap muncul kebijakan yang buruk. Tidak untuk kepentingan rakyat tetpi untuk interest kelompok, investor politik, etnis. Kondisi Srilanka yang seperti itu, merupakan warning bagi Indonesia untuk sekadar mengingatkan jika ada hal-hal yang sama terjadi di Indonesia," beber Wijayanto.
Wijayanto menambahkan karena buruknya kebijakan, maka akibatnya fiskal bangkrut dan masyarakat Srilanka sengsara.
"Utamanya karena dia tidak mempunyai lagi cukup valas untuk membayar utang luar negeri yang dulu dibayar antara lain dengan devisa remittance buruh migran dan investasi, turisme," tegas Wijayanto. (mcr10/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul