Eks Anggota Tim Mawar Menilai Pilkada Bisa Ciptakan Politik Dinasti

Jumat, 19 Juli 2024 – 14:36 WIB
Direktur Eksekutif Institute Kajian Pertahanan dan Intelijen Indonesia (IKAPII) Fauka Noor Farid menyoroti perkembangan politik jelang Pemilu 2024. Foto: source for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute Kajian Pertahanan dan Intelijen Indonesia (IKAPII) Fauka Noor Farid menanggapi isu politik di tanah air menjelang Pilkada 2024.

Dia menjelaskan pilkada awalnya ditujukan agar masyarakat mendapatkan sosok pemimpin yang berkompeten, bisa menyejahterakan masyarakat, dan pemerataan pembangunan.

BACA JUGA: Golkar Tunggu Ahmad Luthfi Pensiun Untuk Diusung di Pilkada Jateng

Namun, menurut eks anggota Tim Mawar Kopassus itu, pelaksanaan pilkada yang ada sekarang justru lebih banyak merugikan masyarakat sehingga lebih tepat dihapuskan.

Dia menilai pilkada justru diselewengkan untuk menciptakan politik dinasti bagi satu kelompok saja.

BACA JUGA: Lahat Jadi Kabupaten Termiskin Kedua di Sumsel, Cik Ujang Dianggap Gagal

"Hari ini ayahnya, besok anak atau istrinya. Banyak ada celah dalam pelaksanaan pilkada ini yang justru menciptakan politik dinasti," kata Fauka di Jakarta Timur, Jumat (19/7).

Bukan tanpa sebab, ketika Pilkada berlangsung pihak yang paling diuntungkan adalah pemangku jabatan sebelumnya yang mengetahui seluk beluk pemerintahan.

BACA JUGA: Gegara Perselisihan Penggunaan Gereja, Jemaat Bentrok di Jakarta Timur

Sedari proses perizinan melakukan kampanye pada aset pemerintah daerah yang dimudahkan, domplengan popularitas agar dikenal masyarakat, hingga pengaruh relasi kuasa.

Dia menjelaskan masyarakat yang konon memiliki pilihan menentukan pemimpin justru dipaksa untuk memilih sosok tertentu karena pengaruh kekuasaan dari kepala daerah sebelumnya.

"Hal yang lebih buruknya pilihan yang dipaksakan ke masyarakat itu sosok tidak kompeten. Karena bisa maju di Pilkada lewat kekuatan politik dinasti, bukan karena dia cakap," lanjutnya.

Selain dinasti politik, Fauka menuturkan pelaksanaan pilkada juga lebih berisiko membuka peluang korupsi, karena para kandidat harus memiliki dompet tebal untuk mengikuti kontestasi.

Para kandidat yang sudah menghabiskan banyak uang saat kampanye tersebut dikhawatirkan akan berupaya mencari cara mengembalikan modal lewat korupsi ketika sudah menjabat.

"Belum lagi risiko kontrak politik kalau ada cukong yang mendanai kampanye kepala daerah. Kepala daerah terpilih seperti itu hanya mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan cukong," tuturnya.

Dia menilai pilkada dan otonomi daerah juga merugikan masyarakat karena pembangunan menjadi tidak merata dan ego masing-masing kepala daerah untuk menjalankan program sesuai keinginannya.

Tidak hanya itu, dia menyebutkan pelaksanaan pilkada juga dirasa membebani anggaran belanja negara (APBN) yang harusnya dapat digunakan untuk membangun daerah menjadi terbuang tanpa hasil.

"Tidak ada acuan kepala daerah untuk menjalankan program. Lain bila kepala daerah ditentukan pemerintah pusat. Dapat dijaring sosok-sosok yang tepat dan memiliki program kerja pasti," lanjutnya.

Dia menyebutkan atas hal tersebut pilkada dan otonomi daerah dianggap perlu dihapuskan, sehingga kewenangan menetapkan pemimpin dan kebijakan kembali diambil pemerintah pusat lewat satu mekanisme.

Fauka optimistis jika pilkada dan otonomi daerah dihapuskan, pembangunan sumber daya manusia, ketahanan pangan, pemerataan pendidikan, dan kesehatan dapat lebih tercapai.

"Ini bukan soal kembali ke Orde Baru, tetapi, soal kepentingan lebih besar yang mau dicapai. Pilkada dan otonomi daerah ini justru menghambat pemerataan dan program pemerintah," kata Fauka. (mcr8/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jumat Dini Hari Tadi Pengguna Jalan Fly Over Cimindi Bandung Gempar


Redaktur : Rah Mahatma Sakti
Reporter : Kenny Kurnia Putra

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler