Eks Hakim Agung Apresiasi Penerapan Restorative Justice oleh Kejaksaan

Jumat, 25 November 2022 – 23:10 WIB
Mantan hakim agung dan pakar hukum Prof Gayus Lumbuun. Foto: ANTARA/Genta Tenri Mawangi

jpnn.com, JAKARTA - Mantan hakim agung Gayus Lumbuun mengapresiasi Kejaksaan Agung, yang semakin banyak menyelesaikan perkara dengan restorative justice. Konsep restorative justice memberikan manfaat besar bagi masyarakat, khususnya masyarakat bawah.

Gayus mengatakan restorative justice memiliki tujuan untuk memberi manfaat bagi korban. “Manfaat bagi orang yang direstorasi atau korban yang diperbaiki,” kata Gayus, Jumat (25/11).

BACA JUGA: Sejak 2020, Dua Ribuan Kasus Diselesaikan Kejagung Secara Restorative Justice

Dijelaskannya, dalam penyelesaian melalui restorative justice, memang keluar dari undang-undang yang berlaku.

Misalnya, jika ada korban tabrakan, maka jika penabrak tidak sengaja, bisa menyelesaikan dengan cara pengobatan terhadap korbannya. Penyelesaian masalah ini tidak harus mempidanakan penabrak yang tidak sengaja.

BACA JUGA: Ini Alasan Ayah Lesti Kejora Tak Hadir Saat Proses Restorative Justice, Oh Ternyata

“Asalkan itu bukan kejahatan terhadap negara, dan juga bukan perbuatan yang disengaja,” papar Gayus.

Dalam restorative justice ini kepolisian telah membuat Peraturan Polisi No 8 tahun 2021. Kejaksaan juga membuat peraturan Kejaksaan No 15 tahun 2020.

BACA JUGA: SETARA: Restorative Justice Kejaksaan Perkuat Sistem Pidana

“Mahkamah Agung juga menerbitkan Peraturan MA No 2 tahun 2012 , yang memberi kesempatan pada kedua belah pihak dalam urusan pidana ini bisa dilakukan perbaikan pemulihan korban,” kata mantan anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.

Konsep restorative justice ini, menurut Gayus, memang memunculkan prokontra, karena dianggap orang kaya tidak bisa dihukum. Atas prokontra ini, Gayus mengatakan, semua pihak harus menyadari bahwa pihak korban perlu bantuan dari pelaku.

“Orang-orang yang lemah mendapatkan keadilan untuk dipulihkan,” kata dia.

Konsep restorative justice ini, lanjut Gayus, digagas oleh orang Kanada Susan Sharpe pada 1998. Lalu dipopulerkan lagi oleh Tony Marshall’s.

“Penyelesaian masalah tidak melalui pengadilan, tetapi kompromi antar pihak dengan pihak ketiga lainnya,” kata Gayus.

Adapun pihak ketiga ini, lanjutnya, bisa menghentikan kasusnya. Karena ada peraturan yang memungkinkan penghentian dilakukan, didasarkan peraturan yang dibuat. Seperti Peraturan Kejaksaan, Peraturan MA, Peraturan Kepolisian. Termasuk sudah ada SKB Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler