jpnn.com, JAKARTA - Ketua SETARA Institute Hendardi menilai restorative justice (RJ) dalam tubuh kejaksaan berkontribusi signifikan pada penguatan sistem peradilan pidana.
Hendardi menyebut restorative justice di kejaksaan bisa dimaknai sebagai koreksi atas langkah kepolisian yang terlanjur melakukan proses penyidikan atas suatu perkara yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan pendekatan nonpidana.
BACA JUGA: Pakar Sebut Restorative Justice Tak Boleh Menghilangkan Pidana
"Sebagai pengendali kebijakan penuntutan, sesuai asas dominus litis peran kejaksaan sangat strategis untuk memastikan bahwa limpahan perkara dari kepolisian bukanlah sesuatu yang taken for granted," kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/1).
Namun, dia juga mengingatkan potensi penyimpangan yang muncul karena penerapan keadilan restoratif.
BACA JUGA: Jaksa Agung Tegaskan Restorative Justice Tak Boleh Sisakan Dendam
Tanpa aturan yang jelas, praktik ini rentan menjadi instrumen transaksional bila tanpa ada ketentuan yang jelas.
"Penerapan 'restorative justice' tanpa ketentuan yang jelas dan penerapan yang akuntabel memang bisa jadi rentan dan menjadi instrumen transaksional," kata Hendardi, di Jakarta, Rabu.
Kekhawatiran ini juga yang diingatkan oleh Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo agar keadilan restoratif tidak menjadi ajang transaksional.
BACA JUGA: Jumhur Sebut Pembebasan Saiful Mahdi Sesuai dengan Restorative Justice
"Pekerjaan selanjutnya dari Polri adalah bagaimana Polri akan mengontrol penerapan pendekatan ini, sehingga tidak menjadi ruang negosiasi pihak berperkara dan memastikan penerapannya selektif, berkeadilan dan akuntabel," tegasnya.
Untuk memperkuat penerapan keadilan restoratif ini, ujar dia, sejumlah regulasi perlu disusun, sambil menunggu pengaturan yang lebih kokoh sebagaimana telah direncanakan untuk diadopsi dalam RUU KUHAP.
"Penerapan prinsip keadilan restoratif ini bukan melulu mengandalkan diskresi Kapolri atau Jaksa Agung, tetapi harus berpedoman pada ukuran-ukuran yang disepakati, sehingga potensi-potensi abusif atas pendekatan ini bisa dihindari," katanya.
Institusi Polri dan Kejaksaan Agung sebelumnya merilis kinerja pengarusutamaan pendekatan "restorative justice" (RJ) dalam penanganan perkara pidana.
Polri merilis 11.811 kasus diselesaikan dengan pendekatan "Restorative Justice" sepanjang tahun 2021. Sedangkan Kejagung merilis 53 kasus sepanjang Januari 2022 juga diselesaikan dengan pendekatan yang sama.
Menurut aktivis HAM ini, langkah dua institusi penegak hukum ini merupakan salah satu ikhtiar untuk menangani problem akut "overcapacity" lembaga pemasyarakatan, akibat orientasi penegakan hukum yang memusat pada tujuan retributif, yakni keadilan dalam bentuk pembalasan yang berujung pada pemidanaan.
"Ikhtiar serupa sempat didorong oleh berbagai kalangan untuk menyusun suatu regulasi setingkat Peraturan Presiden tentang Reorientasi Penyidikan Perkara Pidana di Kepolisian, tetapi hingga hari ini tidak tuntas," ujar Hendardi. (ant/dil/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Adil