Eks Lokalisasi Dijaga Ketat Tentara dan Polisi, Kades Protes

Senin, 25 Mei 2015 – 09:40 WIB
Ilustrasi. FOTO: dok/JAWAPOS

jpnn.com - PENGUSIRAN paksa dan penjagaan selama 24 jam dua eks lokalisasi, yaitu Ngujang di Kecamatan Kedungwaru dan Kaliwungu di Kecamatan Ngunut, oleh tim gabungan dari kepolisian, TNI, dan satpol PP dirasa kurang tepat. Pasalnya, penjagaan tersebut membuat bisnis warga sekitar kedua eks lokalisasi tak berjalan lagi. Sebab, pelanggan takut untuk datang ke tempat itu.

Supardi, kepala Desa (Kades) Ngujang, Kecamatan Kedungwaru, mengatakan sangat kecewa dengan kebijakan tersebut para aparat itu. Sebab, sebelum mengambil kebijakan mengusir penghuni eks lokalisasi, Pemkab Tulungagung bersama kepolisian dan TNI langsung menindak mereka. Itu mengakibatkan seluruh penghuni takut dan bingung.

BACA JUGA: Perlancar Arus Mudik, Dishub Jabar Pasang 35 CCTV

"Sesuai keputusan bupati terdahulu, eks lokalisasi ini dialihfungsikan dan tidak ada pembongkaran. Pada tempat tersebut tidak ada lagi kegiatan prostitusi. Saya setuju jika dilakukan penertiban, namun jangan ada penutupan, apalagi pengusiran," katanya.

Supardi melanjutkan, penjagaan oleh tim gabungan semakin menyengsarakan para pengusaha tempat itu. Padahal, di dalam eks lokalisasi tersebut, tempat usaha bukan hanya warung kopi (warkop) dan karaoke. Masih banyak usaha lain seperti laundry dan jahit baju.

BACA JUGA: Kemarau Datang, Petani Padi Berebut Air

"Dengan dijaganya eks lokalisasi tersebut, bukan mencegah kegiatan prostitusi, malah membuat takut pelanggan usaha lain di situ. Sehingga pendapatan masyarakat jauh menurun," imbuhnya.

Memang saat ini aktivitas warkop masih diperbolehkan buka. Namun, jika ada pelanggan datang untuk menikmati kopi, petugas akan menginterogasi sehingga pelanggan tersebut takut dan memilih pulang.

BACA JUGA: Dua Tukang Bikin Sumur Tewas di Sumur

Selain itu, dengan tidak adanya pemberitahuan dan penghuninya langsung diusir secara mendadak, keputusan tersebut terkesan otoriter. Karena tidak menghormati pemerintah desa (pemdes). 

"Seharusnya, sebelum dilakukan pengusiran dan penjagaan, ada pemberitahuan. Supaya pemdes bisa menyosialisasikan kepada warganya sehingga ada pemecahan. Dengan adanya kebijakan ini, banyak masyarakat yang mengadu ke pemdes sehingga pemdes bingung mau berbuat apa," ungkap Supardi.

Hal senada diungkapkan Bambang Dwijono, Kades Kaliwungu, Kecamatan Ngunut. Menurut dia, kebijakan penjagaan 24 jam terhadap eks lokalisasi Kaliwungu sangat meresahkan warganya. Sebab, dengan kebijakan tersebut, usaha masyarakat yang menempati ruangan itu mati akibat tidak adanya pelanggan yang berani mampir. "Penjagaan tersebut membuat masyarakat kami tidak punya penghasilan. Sehingga untuk makan pun mereka merasa sulit," ucapnya.

Penjagaan itu dirasa sangat berlebihan karena tanah tersebut merupakan tanah kas desa yang pengelolaannya dilimpahkan ke desa. Selain itu, penghuni eks lokalisasi Kaliwungu merupakan warga setempat yang menempatinya dengan menyewa. Dana hasil penyewaan tersebut dimasukkan dalam kas desa dan digunakan untuk kepentingan desa. Harga sewa per kavling Rp 100 ribu setiap tahun.

Di kawasan tersebut terdapat 83 kepala keluarga (KK), dengan 69 KK (baca: rumah) digunakan sebagai warkop dan sisanya murni tempat tinggal. "Itu tanah kas desa. Saya mohon bangunannya jangan dibongkar. Jika dibongkar, bagaimana mata pencarian dan tempat tinggal warga tersebut? Jika terjadi pelanggaran, silakan pelanggaran yang ditindak. Jangan asal dibongkar. Kami tetap mempertahankan tanah ini karena menyangkut kesejahteraan warga," tegas Bambang. (jaz/ris/c9/ano)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jagokan Pelawak Dampingi Incumbent di Pilkada Indramayu, Apa Warga Mau?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler