Eks Pejabat Depkes Didakwa Korupsi Alkes

Selasa, 28 Mei 2013 – 02:02 WIB
JAKARTA - Mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan (Depkes), Ratna Dewi Umar terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara lantaran terjerat dalam kasus dugaan korupsi empat proyek pengadaan alat kesehatan (alkes) penanggulangan virus flu burung pada Mei 2006 lalu. Ratna didakwa telah menguntungkan pihak lain lewat empat proyek alkes.

Pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (27/5), Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, I Kadek Wiradana menuturkan, pada pengadaan reagen and consumable pertama, awalnya Ratna melakukan kesepakatan dengan Dirut PT Prasasti Mitra, Bambang Rudjianto Tanoesoedibjo, tentang realisasi proyek alkes.  Dari pembicaraan itu disepakati bahwa PT Prasasti menggunakan bendera perusahaan PT Rajawali Nusindo yang dipimpin oleh Sutikno.

Tetapi, dalam pelaksanaannya ternyata, pengadaan alat kesehatan tersebut mengambil dari beberapa agen tunggal, yakni PT Fondaco Mitratama, PT Prasasti Mitra, PT Meditec Iasa Tronica dan PT Airindo Sentra Medika, PT Kartika Sentamas dengan harga lebih murah. Pengadaan ini tak sesuai dengan kesepakatan awal.

"Terdakwa sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen, red) juga tidak pernah menetapkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang disusun panitia dan hanya ditandatangani oleh Ketua Panitia Pengadaan. Ini tidak sesuai juga dengan Pasal 13 ayat 1 Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003," kata JPU.

Akibat ketidaktahuan terdakwa ini, Sutikno melakukan kesepakatan dengan empat perusahaan tunggal agar memberi harga lebih rendah kepada PT Prasasti Mitra dan memberikan harga lebih tingggi pada PT Rajawali Nusindo. Selisih pemberian itu adalah fee yang akan diterima oleh PT Prasasti Mitra. Harga yang ditentukan Sutikno itulah yang dipakai untuk HPS dalam nilai kontrak, sehingga terjadi penggelembungan dana.

Adanya HPS yang tidak sesuai pada pengadaan pertama ini menguntungkan beberapa perusahaan rekanan dalam proyek itu di antaranya PT Rajawali Nusindo sebeesar Rp. 1,5 miliar, PT Prasasti Mitra sebesar Rp. 4,9 miliar, PT Airindo Sentra Medika sebesar Rp. 999,6 juta,  PT Fondaco Mitrama Rp 102,8 juta, PT Kartika Sentamas sebesar RP 55,6 juta dan PT Heltindo International sebesar Rp. 1,7 miliar.

Sementara pada pengadaan kedua, Ratna kembali menguntungkan pihak lain. Ia diduga menyalahgunakan kewenangan dalam menggunakan sisa anggaran pengadaan pertama sebesar Rp 8,82 miliar untuk pembelian tambahan alkes berupa 13 ventilator.

Dalam proyek kedua itu, kata JPU, Ratna menyalahgunakan kesempatan dan kewenangannya sebagai PPK untuk menandatangani sendiri surat permintaan harga penawaran 13 unit ventilator. Hampir serupa dengan modus yang dilakukan di pengadaan pertama, ia menjalin kesepakatan dengan PT Rajawali dan menekan kontrak sebesar Rp 6,22 miliar.

Namun, yang mengerjakan pengadaan itu adalah PT Prasasti dengan harga yang lebih murah yaitu Rp 5,9 miliar. Akibatnya PT Rajawali mendapatkan keuntungan selisih dari nilai kontrak yaitu  Rp 378,5 juta dan PT Prasasti Mitra sebesar Rp 520, 9 juta.

Sedangkan di pengadaan ketiga, Ratna dianggap menyalahgunakan kewenangan dengan memerintahkan panitia pengadaan melaksanakan proyek pengadaan dengan metode penunjukkan langsung. Alasannya, situasi masih dalam Kejadian Luar Biasa (KLB) flu burung sehingga menunjuk PT Kimia Farma Trading Distribution (KFTD) sebagai pelaksana kegiatan.

Namun ternyata PT KFTD mendapat pasokan dari PT Bhineka Usada Raya (BUR). Padahal, dalam penentuan HPS sudah menggunakan perhitungan dari PT BUR. Hal ini menguntungkan dua perusahaan itu. "Dari rangkaian itu terdakwa menguntungkan PT KFTD sebesar Rp 2,011 miliar dan PT BUR sebesar Rp 25,9 miliar," papar JPU.

Terakhir di pengadaan ke empat ia menguntungkan PT KFTD sebesar Rp 1,4 miliar dan PT Cahaya Prima Cemerlang (PT CPC) sebesar Rp 10,8 miliar. Dalam proyek ini, Ratna didakwa menyalahgunakan wewenang dengan memerintahkan panitia pengadaan agar menunjuk langsung PT KFTD sebagai pelaksana proyek. Tetapi, harga perkiraan sendiri yang digunakan adalah milik PT Cahaya Prima Cemerlang (CPC) yang jauh lebih rendah dari anggaran yang ditentukan, yaitu sebesar Rp 29,810 miliar.

"Terdakwa menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yaitu selaku Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar Dirjen Bina Pelayanan Medik Depkes RI. Selaku Kuasa Pengguna Anggaran serta merangkap Pejabat Pembuat Komitmen," papar Kadek.

Total dari rangkaian itu, Ratna telah mengakibatkan kerugian negara hingga sebesar Rp 50.477.847.078. Ratna didakwa melanggar pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b dan atau pasal 3 junto pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto pasal pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

"Terdakwa telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi," kata Kadek.

Atas dakwaan itu Ratna Dewi Umar tidak mengajukan eksepsi. (flo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Demokrasi di Indonesia, Demokrasi Topeng

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler