Suryo Eko Prasetyo- Mesir
MASA transisi pemerintahan sedang berlangsung di Mesir. Hal itu terasa menjelang KRI Dewaruci yang saya tumpangi akan sandar di dermaga wisata Port Said. Pemeriksaan dokumen warga asing yang baru masuk ke negara itu terkesan diperketat. Tidak pandang bulu siapa orang itu.
Saya kebetulan satu-satunya penumpang Dewaruci yang memegang paspor hijau. Tak mengherankan bila perlakuan yang saya terima dari petugas imigrasi di Port Said agak lebih ketat jika dibandingkan dengan awak kapal yang lain. Padahal, saya sudah mengantongi visa masuk Mesir dengan batas waktu enam bulan.
Sebagai anggota militer, 77 personel TNI-AL pemegang paspor biru (dinas militer) yang ikut dalam Ekspedisi Keliling Dunia 2012 itu terhitung jarang di-screening. Jaminan Atase Pertahanan RI di negara tujuan Dewaruci dan garansi dari KBRI termasuk ampuh. Sejak masuk pangkalan militer Amerika Serikat di Kwajalein, Kepulauan Marshall, pada Februari lalu hingga meninggalkan Valletta, Malta, pertengahan Agustus 2012, tidak ada proses yang ribet dialami para serdadu itu saat menjalani pemeriksaan keimigrasian. Bahkan, di beberapa negara tanpa pemeriksaan. Paspor langsung distempel.
Di Mesir, pemeriksaan dokumen formal tetap dilakukan. Baik dokumen perjalanan maupun barang bawaan setiap keluar masuk pelabuhan. Kendati dokumen visa on arrival sudah diurus agen perjalanan dan melibatkan kepolisian setempat, petugas keamanan pelabuhan tidak langsung percaya. Mereka tetap melaksanakan tugasnya.
Selain melarang memotret aktivitas di sekitar pelabuhan, pengawasan ketat dilakukan petugas wajib militer (wamil) di dermaga tempat Dewaruci sandar. "Itu standar mereka terhadap orang asing. Alasannya untuk menjamin keselamatan orang asing itu selama di Mesir," ungkap Staf Atase Pertahanan Kairo Najib Tabhan.
Baru dua bulan Mesir di bawah kendali Presiden Mohamed Morsi. Presiden kelima Mesir itu dilantik pada 30 Juni 2012. Morsi menggantikan rezim Hosni Mubarak yang berkuasa lebih dari 29 tahun. Setelah lama dipimpin penguasa otoriter, rakyat sipil Mesir merasa lebih merdeka begitu Mubarak jatuh. Mirip reformasi di Indonesia ketika Presiden Soeharto dipaksa mundur setelah 31 tahun berkuasa.
Kekacauan selama masa transisi di Mesir, kata Najib, ketika itu tak terhindarkan. Apalagi, rakyat turut terinspirasi revolusi Tunisia yang menggulingkan pemerintahan lama. Meski revolusi di Mesir tidak sampai merembet ke kerusuhan rasial, ratusan jiwa di Kairo dan Alexandria menjadi tumbal. Rakyat menghendaki revolusi politik dan hukum yang berakibat negara sempat mengalami kevakuman pemerintahan dan hilangnya kepercayaan kepada polisi.
"Mesir pada umumnya belum bisa dibilang aman. Masih banyak terjadi kriminalitas di perkotaan," kata Sekretaris Ketiga Penerangan, Sosial, dan Budaya KBRI di Kairo M. Nur Salim.
Meski belum ada travel warning dari pemerintah Indonesia, Nur Salim mewanti-wanti agar WNI (warga negara Indonesia) tetap berhati-hati ketika berpesiar. Sekalipun sandar di Port Said, lulusan Universitas Al-Azhar itu menyarankan selalu berkelompok setiap keluar kawasan pelabuhan. Banyak motif kriminalitas dilakukan penjahat jalanan selama pemerintahan Morsi yang baru ini. Mulai motif ekonomi hingga bermaksud menjatuhkan kewibawaan aparatur keamanan.
Belum lama menjabat, presiden anyar itu mulai bersih-bersih "orang-orang" Mubarak di kabinetnya. Tapi, Morsi mempertahankan posisi-posisi penting seperti panglima TNI maupun petinggi militer lainnya agar tidak terjadi gejolak pada masa pemerintahan yang masih seumur jagung.
Selama revolusi dan masa transisi pemerintahan Mesir, kata Salim, KBRI bekerja keras menyelamatkan sekitar 6.000 WNI di negeri itu. Di antaranya, mengevakuasi WNI dari titik-titik konflik. KBRI juga mencarter beberapa pesawat komersial untuk memulangkan ribuan perantau tersebut ke tanah air.
"Dampak revolusi yang membuat ekonomi Mesir terganggu terlihat pada jumlah kunjungan wisatawan yang turun hingga 60 persen," jelas bapak dua anak itu.
Penjelasan Salim tersebut bukan isapan jempol. Ketika rombongan awak kapal Dewaruci pesiar menuju kawasan Piramida Giza, sekitar 20 kilometer di barat daya Kairo, sepanjang jalan yang dilalui tampak sepi. Padahal, tak jauh dari jalan itu adalah bandara internasional Kairo. Beberapa kali bus juga dihentikan petugas keamanan untuk check point. Padahal, bus sudah dikawal satu kendaraan polisi beserta beberapa personel wamil plus seorang polisi intelijen berpangkat mayor dan lima orang dari agen perjalanan. Tapi, petugas di lapangan tetap melaksanakan tugasnya tanpa pandang bulu.
"Pemerintah setempat harus memastikan keamanan orang asing dan mengawasi agar tidak terjadi pelanggaran izin keimigrasian," kata Mohamed Sidi, guide dari agen perjalanan Sailing Tours.
Begitu memasuki kompleks piramida di Kota Giza, suasana juga tak ramai. Pengunjung relatif sedikit untuk ukuran tempat wisata yang termasuk keajaiban dunia itu. Bangunan batu bertumpuk kerucut setinggi 130-an meter di gurun pasir itu sebelum revolusi Mesir selalu menyedot banyak wisatawan mancanegara. Tapi, lantaran kondisi keamanan belum pulih seratus persen, turis masih enggan datang. Konon, ketatnya pemeriksaan dokumen orang asing menjadi salah satu masalah sehingga pariwisata di Mesir belum "hidup" kembali. Apalagi, bekas-bekas keriuhan revolusi Mesir masih tersisa di mana-mana. Tak terkecuali di kompleks makam-makam raja Mesir kuno itu. (bersambung/c4/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keppres Diteken Mepet, Komisioner Komnas HAM yang Sudah Packing pun Kembali Kerja
Redaktur : Tim Redaksi