BACA JUGA: Bakrie Sumatera Matangkan Buyback
''Kenyataannya, beberapa pelaku usaha mulai merasakan sulitnya mendapat likuiditas perbankan, terutama sejak ada krisis di AS,'' ujar Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno, Sabtu (18/10)Dia khawatir jika hal itu terus terjadi, akan banyak pelaku usaha yang tidak bisa melanjutkan aktivitas ekspor-impor
BACA JUGA: Potensi Transaksi Valas Untung Tinggi
Benny mencontohkan, jika membuka L/C (letter of credit) impor di bank, pengusaha biasanya cukup memberikan jaminan 10-20 persen dari nilai imporBACA JUGA: Investasi Seret, Sektor Tambang Terancam
Ada bank yang minta jaminan hingga 100 persen dari nilai impor''Kalau jaminannya 100 persen, sekalian saja transfer tunai,'' katanya.Sebaliknya, lanjut dia, ketika pelaku usaha akan mengekspor, L/C yang diterima dari pembeli tak bisa langsung dibayarkan oleh bank di Indonesia setelah barang ekspor dikirimAlasannya, bank di Indonesia belum dapat transfer dana dari bank di luar negeri yang berhubungan secara langsung dengan pembeli''Eksporter harus menunggu bank di sini dibayar oleh bank pembuka L/C,'' ungkapnya.
Dia berharap pemerintah menerapkan kebijakan yang membuat iklim usaha lebih kondusifSelain itu, banyak masalah di dalam negeri maupun luar negeri yang membuat pangsa produk Indonesia mengecil''Industri masih menjadi andalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomiPemerintah harus menjamin produk dalam negeri bisa memenangkan persaingan global,'' tuturnya.
Managing Director Grup Maspion Alim Satria juga mendengar kesulitan pengusaha mendapatkan likuiditas perbankanSeorang eksporter koleganya heran karena produk yang dikirimnya ke AS ternyata dibayar oleh bank Singapura''Harusnya yang bayar (L/C) kan bank Amerika, kok ini dibayar bank SingapuraBerarti kan mereka kesulitan likuiditas,''(wir/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BI Siapkan Transisi Giro Wajib Minimum
Redaktur : Tim Redaksi