DSR sendiri merupakan pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang, dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. Idealnya, semakin besar persentase DRS, maka beban utang luar negeri semakin besar pula. Meski demikian, angka tersebut tidak mutlak jika investor (kreditor) meyakini bahwa telah terjadi perkembangan ekonomi yang baik pada negara tujuan investasi. Pasalnya, investor bakal menilai bahwa kewajiban pembayaran utang diproyeksi dapat diselesaikan dengan baik oleh negara debitor.
Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, kemampuan pembayaran utang yang dimiliki oleh pemerintah masih cukup baik. Sehingga, potensi instabilitas terhadap sistem keuangan yang berasal dari pinjaman luar negeri pemerintah masih relatif kecil. Tercatat, pada triwulan pertama 2012, pinjaman luar negeri Pemerintah mencapai USD 118,38 miliar, atau setara Rp 1.083 triliun (kurs Rp 9.146 per USD 1). "Saat ini Pemerintah melakukan pengurangan utang secara bertahap, dan mencari sumber pembiayaan lain yang rendah risiko," ungkapnya.
Dia memaparkan, sejatinya tantangan stabilitas keuangan yang utama bersumber dari faktor eksternal atau krisis global. Maka dari itu, Pemerintah perlu mendorong penciptaan pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat dan kokoh. "pertumbuhan yang sehat dan kokoh itu melalui peningkatan kinerja di sektor riil, misalnya meningkatkan belanja modal," jelasnya.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Erani Yustika memprediksi angka DSR bisa berangsur pulih pada kuartal pertama 2013 mendatang. Asumsinya, pada periode tersebut performa ekspor Indonesia telah mengalami peningkatan, dilihat dari tren pemulihan yang terjadi sepanjang dua kuartal belakangan ini. "Ekspor itu fluktuaif, apalagi di situasi seperti sekarang. Saya melihat (DSR) kuartal pertama tahun depan bisa membaik, meski tipis," paparnya kepada Jawa Pos.
Dia menerangkan, membaiknya kinerja ekspor diproyeksi mulai terjadi ketika ada peningkatan harga pada komoditas strategis, seperti produk-produk perkebunan dan pertambangan. Seperti diketahui, saat ini harga komoditas perkebunan, misalnya kelapa sawit anjlok hingga 50 persen. "Kalau naik lagi (harga komoditas) itu mempengaruhi betul," terangnya.
Sebagai catatan, BI menilai defisit APBN masih berada dalam batas aman. Pendapatan dan Belanja Negara (PBN) untuk semester pertama 2012 mengalami defisit sebesar Rp 36,11 triliun, atau 0,42 persen terhadap Pendapatan Domectic Bruto (PDB). Angka defisit ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan target defisit yang ditetapkan pemerintah, yaitu sebanyak Rp 190,11 triliun, atau 2,23 persen terhadap PDB. Kenaikan pada belanja negara terutama disebabkan oleh kenaikan biaya subsidi, kenaikan biaya modal dan biaya lainnya. (gal/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Email dan Telepon Bakrie Grup Dibajak
Redaktur : Tim Redaksi