Ekspor ternak sapi Australia mengalami penurunan tajam karena pandemi COVID-19 dan anjloknya permintaan dari Indonesia.
Namun di sisi lain, pengiriman kerbau dari Australia mulai meningkat pesat dengan tujuan utama Indonesia.
BACA JUGA: Seberapa Lama Vaksin COVID-19 Akan Memberikan Perlindungan Bagi Tubuh?
"Baru sekitar 220.000 ekor sapi yang diekspor melalui pelabuhan Darwin hingga periode September tahun ini," ujar Tom Dawkins, Direktur Utama Asosiasi Eksportir Ternak Northern Territory (NTLEA).
Dalam wawancara dengan Matt Brann dari ABC, Tom menyebutkan hal ini merupakan penurunan signifikan dalam dekade terakhir.
BACA JUGA: Isaac El Matari Sesumbar Akan Dirikan ISIS di Australia, Sekarang Begini Nasibnya
"Kami sebenarnya sudah memperkirakan adanya penurunan dalam pengapalan ternak karena sejumlah alasan. Namun penurunannya sangat tajam hingga akhir September," kata Tom.
"Bulan Oktober pun berjalan lebih lambat dan bila kondisi terus seperti ini, kita akan mengalami periode enam bulan pengapalan ternak yang sangat lambat dari Darwin dan Australia Utara," tambahnya.
BACA JUGA: Penduduk Sementara Australia Kecewa Dikecualikan dari Pembukaan Perbatasan
Dia menjelaskan, saat ini merupakan masa-masa pengapalan ternak yang lebih lambat dalam setahun, ditambah masalah pasokan ternak yang langka serta akses pengangkutan darat yang lebih sulit selama musim hujan.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya yaitu rendahnya permintaan dari pasar daging di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
"Kita tahu adanya kesulitan di Asia Tenggara akibat varian Delta sehingga sangat menganggu pasokan daging merah yang biasanya masuk ke pasar tradisional," jelas Tom.
Mahalnya harga sapi Australia, katanya, menjadi faktor utama. Hal ini berdampak pada permintaan di pasar tersebut serta di sektor pemrosesan di Australia.
"Ketika kita mengalami kenaikan harga di tingkat peternak, jelas hal itu akan memengaruhi daya saing kita (di pasar Asia Tenggara)," tambahnya.
Tom mengaku tidak melihat adanya faktor yang bisa membuat harga ternak turun dalam waktu dekat ini.
"Hal itu memerlukan penyesuaian signifikan bagi industri ekspor ternak, serta rantai pasokan mereka, karena industri daging sapi Australia selama ini sangat fokus pada ekspor," paparnya. Tahan banting
Meski demikian, Tom menyatakan, ekspor ternak Australia merupakan industri yang sangat tahan banting.
"Mereka selalu beroperasi dengan margin tipis. Periode 12 bulan ini sangat berat bagi mereka, terutama bagi usaha penggemukan sapi di Indonesia, di mana mereka memasuki pasar dengan harga yang terkendali," katanya.
Tom menjelaskan saat ini kalangan eksportir mengalami defisit harga sebesar 60 sen per kilogram untuk sapi Australia yang masuk ke rumah potong hewan dan ke pasar basah.
"Mereka sekarang berusaha membatasi pasokan semaksimal mungkin," ujarnya.
Menurut dia, industri ekspor sapi saat ini mengalami situasi dimana tidak banyak pasokan ternak, permintaan yang buruk di pasar Asia Tenggara, serta banyaknya ruang kapal ternak yang kosong.
"Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aktivitas perdagangan di Darwin dan kota lain seperti Broome berjalan sangat lambat," paparnya.
Terkait dengan masuknya sapi Brasil ke Vietnam, Tom menyebut hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi industri ternak Australia.
"Kami sangat tertarik dengan proses dan kemajuan yang terjadi di sana. Kami harap mereka sukses karena pelaku industri di Vietnam adalah mitra kami juga," jelasnya.
Ini menunjukkan bahwa daya saing kami sedang diuji tetapi kami tidak tahu bentuk pasar mereka yang ada di sana pada tahun 2022 dan seterusnya.
Peternak sapi di Australia Utara, kata Tom, kini menghadapi dilema tentang pasar mana yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Apalagi ada permintaan yang meningkat dari pasar domestik di Queensland dan di tempat lain di Australia.
"Hal ini menunjukkan kekuatan industri daging sapi Australia," katanya.
Tom memperkirakan target ekspor sapi sebanyak 720.000 ekor tahun 2021 ini akan sulit dicapai. Permintaan kerbau terus meningkat
Tom mengungkapkan pekan ini ada pengiriman kerbau sebanyak 1.200 ekor yang sebelumnya berhasil dikumpulkan dari lahan basah di berbagai wilayah Australia Utara.
Dikatakan, perdagangan kerbau dalam beberapa bulan terakhir cukup bagus untuk tahun 2021.
"Harganya sangat bagus. Kerbau-kerbau ini juga membantu mengisi kapal ternak yang masih beroperasi dan membantu memasok kebutuhan protein di Indonesia," jelas Tom.
"Indonesia telah menjadi pasar kerbau terbesar kita, dari sebelumnya tidak ada, mana hanya dalam tempo beberapa tahun," katanya.
Tom melihat adanya peluang industri yang sangat besar dengan menjalin kerjasama dengan pengelola lahan basah tempat kerbau-kerbau liar banyak ditemukan di Kawasan Australia Utara.
"Kita mengalami masalah besar dalam mengelola kerbau liar sebanyak 200.000 ekor yang terus berkembang biak," katanya.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari program Radio ABC
BACA ARTIKEL LAINNYA... Peneliti Australia Temukan Bukti Rokok Elektrik Mengandung Pestisida dan Bahan Berbahaya Lain