JAYAPURA - Koordinator Solidaritas Rakyat Papua Untuk Keadilan, Yulianus Mabel mengatakan, proses pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) di Provinsi Papua telah memakan waktu kurang lebih dari 8 bulan. Lamanya proses Pemilukada ini bukan semata-mata atas dasar kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan para elit politik Papua di lembaga legislatif, eksekutif dan Majelis Rakyat Papua (MRP).
"Bukan rahasia lagi bahwa anggota DPRP (Pansus Pemilukada DPRP) dan MRP secara penuh terlibat dalam tim sukses kandidat tertentu," ujarnya.
Dijelaskannya, pada awal Februari 2012, secara sepihak Ketua MRP mengklaim bahwa rekomendasi MRP terkait keaslian orang Papua yang termuat dalam pasal 12 dan pasal 17 ayat (1) UU No 21 Tahun 2001, diterima dan disetujui oleh Menteri Dalam Negeri. Demikian juga dengan sikap Pansus Pemilukada DPRP. "Sementara faktanya bahwa surat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI No.188.34/271/SJ, tertanggal 31 Januari 2011, yang ditujukan kepada Penjabat Gubernur Papua, jelas menyebutkan lain. Dengan sifat suratnya adalah segera," katanya.
Yulianus memaparkan, surat Mendagri itu menyatakan, sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua No. 6 Tahun 2011 tentang pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur, bersama ini disampaikan bahwa berdasarkan hasil kajian tim, Perdasus dimaksud bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagai berikut:
Pertama, rumusan pasal 2 ayat (1) Perdasus No 6 Tahun 2011 agar menyesuaikan dengan rumusan pasal 1 huruf t UU No 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Ketentuan tersebut telah diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 29/PUU-IX/2011 tanggal 29 September 2011.
Kedua, bahwa kewenangan penyelenggara pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Papua saat ini harus disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi NO 81/PUU/VIII/2010 tanggal 2 Maret 2011, yang pada intinya menyatakan bahwa kekhususan Provinsi Papua berkaitan dengan pemilihan gubernur yang berbeda dengan provinsi lainnya adalah hanya mengenai calon gubernur dan wakil gubernur yang harus orang asli Papua dan telah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRP, sedangkan persyaratan dan mekanisme lainnya sama dengan yang berlaku di daerah lainnya di Indonesia. Kewenangan DPRP diatur secara terbatas dalam Perdasus yaitu hanya mengenai verifikasi persyaratan calon gubernur dan wakil gubernur dalam hal keabsahan pendidikan dan mengusulkan kepada MRP untuk memperoleh pertimbangan serta persetujuan terkait persyaratan keaslian orang Papua.
Ketiga, dengan hal tersebut sebagaimana angka 1 dan angka 2 di atas maka pasal-pasal yang berkaitan dharus dilakukan penyesuaian.
"Dalam surat Mendagri itu, memerintahkan kepada Pejabat Gubernur Provinsi Papua untuk segera Perdasus itu dilakukan penyesuaian dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dan pelaksanaan penyesuaiannya agar dilaporkan kepada Mendagri selambat-lambatnya lima belas (15) hari sejak diterima surat tersebut," tandasnya saat bertandang ke Kantor Redaksi Cenderawasih Pos (JPNN Group), Minggu, (12/2).
Dengan surat Mendagri tersebut, lanjut Yulianus, statemen Ketua MRP dan elit politik pada lembaga DPRP merupakan pembohongan publik. Selebihnya asalan MRP dan DPRP terkait dengan pasal 12 dan pasal 17 ayat (1) itu tidaklah berdasar. Mengapa? Sebab amanat UU No 21 Tahun 2001, mengenai orang asli Papua dengan jelas mendefinisikan bahwa orang asli Papua ada orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua, dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.
Hal ini telah diperkuat dengan putusan MK RI No.29/PUUU-IX/2011, dalam hal keputusan MK dengan jelas mengabulkan defenisi tersebut di atas, yakni bukan hanya orang asli Papua dalam artian geneologis-biologis melainkan orang yang diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.
Oleh sebab itu, penundaan Pemilukada di Provinsi Papua dengan alasan calon semuanya harus orang asli Papua, sesungguhnya alasan yang tidak realistis dan mendasar. Lagi pula sebagai warga negara, sesuai dengan pasal 28 ayat (3) UUD 1945, menyebutkan setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk dipilih dan memilih.
Bukan hanya itu, apabila ditinjau dari tatanan dan nilai-nilai adat yang dimiliki dalam setiap suku bangsa di tanah Papua, dengan jelas terbukti bahwa setiap suku bangsa di Papua masing-masing secara independen mengatur tatanan hidupnya tanpa intervensi oleh kelompok atau suku lain. Dimuatnya pasal 12 dan pasal 17 ayat (1) UU No 21 Tahun 2001 mengenai otonomi khusus Papua.
"Setiap suku asli di Papua mempunyai kedudukan yang sama di tatanan hukum adat di tanah Papua, yang juga harus diakui oleh siapapun di negara ini, sebagaimana telah terbukti dengan adanya pengakuan negara ini melalui putusan MK yang mengakui tatanan hukum adat setiap suku asli Papua di tanah Papua. Dengan demikian, setiap suku asli di tanah Papua mempunyai hak yang sama di dalam hukum formal di negara ini, yang patut diperlakukan secara adil dan diakui hak-haknya itu bukan dianaktirikan demi kepentingan kelompok tertentu atau kandidat tertentu," tukasnya.
Ditambahkannya, mengenai UU No 21 Tahun 2001 pasal 1 huruf (t) tentang orang asli Papua dan/atau orang yang diakui sebagai orang asli Papua, adalah lahir dari independen suku-suku yang ada di Papua. Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka tidak ada alasan yang mendasari penundaan pelaksanaan Pemilukada. Oleh karena itu, pihaknya mendesak Gubernur Provinsi Papua, DPRP dan MRP segera mendorong proses Pemilukada secara demokratis, adil dan beradab.
Anggota Pansus DPRP dan MRP, juga diminta segera berhenti menjadi tim sukses dari masing-masing calon gubernur dan juga berhenti melakukan pembohongan publik dan melaksanakan tugas secara profesional, obyektif sesuai tugas pokoknya itu. (nls/fud)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Whistle Blower Ilegal Loging Diusulkan Bebas Bersyarat
Redaktur : Tim Redaksi