Teliti Ulat Sagu, Siswa Papua Raih Perunggu Lomba Riset Dunia

Kandungan Proteinnya Lebihi Telur Ayam Kampung

Minggu, 27 Mei 2012 – 00:06 WIB
Mike Juneth Christin Toan (kiri) bersama Fialdy Joshua Pattiradjawane, peserta lain, setelah mengikuti International Conference of Young Scientists ke-19 di Belanda. Foto : Surya Institute for Jawa Pos

Ulat sagu yang dikonsumsi banyak masyarakat Papua ternyata mengandung protein tinggi. Paling tidak, itulah hasil penelitian yang dilakukan Mike Juneth Christin Toan, siswi SMAN 3 Jayapura, yang mengantarkan dirinya meraih medali perunggu dalam lomba penelitian ilmiah tingkat dunia di Belanda akhir bulan lalu.

M. HILMI SETIAWAN, Jakarta

SUASANA yang semula tegang pecah ketika Mike Juneth Christin Toan mendapat giliran mempresentasikan karya penelitiannya di depan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh beserta jajaran pejabat eselon I Senin lalu (7/5). Keadaan hening kala siswa lain memaparkan karya masing-masing sebelumnya tiba-tiba cair saat siswi SMAN 3 Jayapura itu menceritakan penelitiannya dengan santai.

Keriuhan muncul karena objek penelitian Mike tergolong tidak lazim. Anak pertama di antara dua bersaudara itu meneliti kandungan protein ulat sagu. Dari penelitian itu, diketahui ulat sagu bisa diolah menjadi berbagai menu makanan, misalnya keripik, bakso, bakwan, spageti, hingga sandwich.
"Kalau nanti kami berkunjung ke Jayapura, biar para bapak Dirjen ini yang mencoba duluan," ujar Nuh, lantas disambut tawa para hadirin.

Setelah meneliti sekitar satu bulan di laboratorium Surya Institute, Mike mendapat kesimpulan bahwa ulat sagu mengandung protein yang cukup tinggi. Bahkan, kandungan protein itu melebihi yang ada di telur ayam. Selain protein, ulat sagu juga mengandung lemak dan mineral.

Mike mencatat, kandungan protein di tubuh ulat berwarna putih itu sekitar 17 persen. Sedangkan kandungan protein dalam sebutir telur ayam berkisar 13 persen saja.

Berkat penelitian itu, Mike mampu meyakinkan dewan juri International Conference of Young Scientists (ICYS) Ke-19 di Nijmegen, Belanda, akhir bulan lalu. Dia pun dinobatkan sebagai juara ketiga dan berhak atas medali perunggu untuk kategori Life Sciences. Dia mengalahkan karya penelitian ratusan siswa lain dari berbagai negara. 

Remaja kelahiran Sentani, 21 Juni 1994, itu mengatakan bahwa dirinya mengawali penelitian tersebut pada akhir Maret lalu. Dalam penelitian itu, dia dibantu empat rekannya, yakni Richard Antonius Mahuze, Yulian Marco Awairaro, Agustina Gempita Padama, dan Darius Ohee.

"Tapi, yang melakukan penelitian ulang di Jakarta dan presentasi di Belanda saya sendirian," kata anak pertama di antara dua bersaudara itu.

Untuk bahan penelitian, Mike tidak sulit mencari ulat sagu. Sebab, di kampung halamannya populasi ulat sagu sangat banyak. Apalagi, sekitar 90 persen populasi pohon sagu terdapat di Papua.

Meski begitu, Mike harus menempuh perjalanan sekitar 20 km dari rumahnya untuk mencari pohon sagu yang sudah roboh dan hampir membusuk di hutan belantara. "Saya mencari ulat sagu di hutan yang ditempati suku Kamoro," ujar siswi kelas XII SMA itu.

Setelah menemukan titik keberadaan ulat sagu, dia langsung mengambil ulat sagu dalam jumlah lumayan banyak. Sebab, sebagian ulat akan dia bawa ke Jakarta untuk objek penelitian. Mike juga membawa serta cacahan pohon sagu untuk makanan ulat itu selama perjalanan menuju Jakarta.

Mike menuturkan, motivasi awal penelitian itu adalah semakin menguatkan tingkat konsumsi ulat sagu, terutama bagi masyarakat Papua. Apalagi, saat ini konsumsi ulat sagu oleh penduduk yang tinggal di perkotaan mulai turun. Ulat sagu hanya ramai dikonsumsi ketika masyarakat menyambut acara adat tertentu. Selain dimakan mentah, ulat sagu sering diolah seperti hidangan sate kambing dengan bumbu khas Papua.

Berdasar hasil penelitian itu, Mike yakin bahwa ulat sagu dapat menjadi makanan alternatif  yang bermanfaat bagi tubuh orang yang mengonsumsinya. Terlebih bila harga telur naik, masyarakat cukup mencari ulat sagu di hutan-hutan. "Ulat sagu juga bisa mengurangi beban ekonomi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan proteinnya," jelas dia.

Menurut Mike, banyak alasan mulai menurunnya tingkat konsumsi ulat sagu di Papua. Salah satunya, sebagian masyarakat merasa kurang nyaman saat mengonsumsi ulat sagu dalam keadaan masih hidup atau utuh. "Termasuk saya. Saya belum pernah memakan ulat sagu dalam keadaan utuh," ucap dia.

Sambil melakukan penelitian, Mike membuat berbagai olahan berbahan ulat sagu. Mulai keripik, bakso, bakwan, spageti, hingga sandwich. Hasilnya, papar dia, menakjubkan. Ulat yang semula membuat geli jadi enak disantap. "Rasanya sekilas seperti kerang. Kenyal-kenyal gitu," ucap dia.

Mike menceritakan sempat mengalami hambatan saat hendak terbang ke Belanda. Pasalnya, ada ketentuan yang menyebutkan tidak boleh membawa hewan hidup dalam penerbangan. Karena itu, dia terpaksa membekukan ulat sagu yang akan ditunjukkan kepada dewan juri. Selain itu, Mike membawa ulat kering dan ulat yang sudah diasinkan.

Semua sudah disiapkan dengan matang oleh Mike. Tidak ketinggalan, dia menyiapkan tester berupa keripik ulat sagu. Tapi sayang, belum sampai ke Negeri Kincir Angin itu, keripik berasa gurih tersebut telah habis karena disantap teman-temannya saat berada di asrama Surya Institute.
"Waktu itu saya cuma membuat 20-an keripik. Sebab, saya hanya menyiapkan untuk presentasi," terangnya.

Meski begitu, dia mampu meyakinkan dewan juri bahwa ulat sagu betul-betul mengandung protein tinggi dan bisa diolah dalam berbagai makanan yang enak dikonsumsi. "Saya sempat waswas ketika saya tidak bisa membawa keripik. Tapi syukurlah, juri tetap percaya dengan penelitian saya," tambah dia.

Sepulang dari Belanda, Mike masih penasaran dengan objek penelitiannya. Karena itu, dia lalu melakukan penelitian lagi dengan mengolah ulat sagu menjadi spageti dan sandwich. Bahkan, hasilnya lalu dijual di depan rumah. Dua olahan tersebut dia banderol Rp 5.000 per porsi. "Ini masih uji coba," ujar Mike yang bercita-cita mendirikan perusahaan franchise makanan berbahan ulat sagu itu.

Meski masih coba-coba, dia tidak ingin pembeli tertipu. Karena itu, dia memampang keterangan di konternya bahwa makanan yang dibuat berbahan ulat sagu.

Mike mengatakan, untuk membuat spageti, isi perut ulat sagu dikeluarkan, kemudian dicampur ke dalam adonan mi. Sementara itu, sisa tubuh dan kepala ulat sagu disisihkan dan dibuat campuran bahan siraman spageti bersama daging ayam. "Lumayan, spageti yang saya buat langsung habis," terang dia.

Untuk sandwich, isi perut ulat sagu diolah menyerupai mayones yang disiramkan ke tengah-tengah tumpukan roti, sayur, dan daging sapi. Lagi-lagi, sandwich itu pun laris manis.

Ketika ditanya apakah akan fokus berjualan, Mike hanya tertawa. Dia saat ini masih ingin terus belajar. "Saya ingin kuliah di Australia atau Tiongkok. Saya sudah mendaftar," tegas dia. (*/c11/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bagaimana pun Kondisi Jenazah Suzan, Dia Tetap Cantik di Mata Saya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler