Energi Aman, Telekomunikasi Terancam

Hasil Stress Test Fitch Ratings

Jumat, 25 Oktober 2013 – 04:30 WIB

JAKARTA - Tekanan terhadap rupiah memang mereda. Namun, potensi ancaman eksternal terkait dengan rencana pengurangan atau tapering off stimulus quantitative easing (QE) di AS belum sirna. Berdasar stress test yang dilakukan lembaga Fitch Ratings, diketahui bahwa sejumlah sektor dinilai belum aman dari ancaman depresiasi rupiah. 
 
Indonesian Corporate Rating dari Fitch Ratings, Erlin Salim, menyatakan bahwa pihaknya melakukan stress test terhadap perusahaan di Indonesia dengan skenario depresiasi rupiah 30 persen. "Ini kami hitung sejak 1 Mei 2013," ujarnya di Jakarta kemarin (24/10).
 
Sebagai gambaran, nilai tukar rupiah berdasar Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) pada 1 Mei 2013 tercatat Rp 9.730 per USD. Dengan skenario depresiasi 30 persen, rupiah berada di kisaran Rp 12.649 per USD. Stress test dilakukan terhadap kinerja keuangan perusahaan jika rupiah terdepresiasi sampai level tersebut.
 
Bagaimana hasilnya? Erlin menerangkan, untuk sektor energi, Fitch menilai tiga perusahaan yakni Adaro, Indika Energy, dan Star Energy, cukup nyaman dari depresiasi rupiah. Sebab, penerimaan perusahaan sebagian besar dalam denominasi USD. "Profit margin perusahaan bisa positif mengingat biaya operasi dalam rupiah (sedangkan penerimaan dalam USD)," tuturnya.
 
Dua perusahaan lain, yakni Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), juga dinilai aman dari gejolak depresiasi. Sebab, sebagai perusahaan yang menjalankan fungsi kewajiban layanan publik atau public service obligation (PSO), keduanya selalu di-support pemerintah. Risiko gejolak nilai tukar juga akan ditanggung pemerintah melalui penambahan subsidi.
 
Perusahaan Gas Negara (PGN) diproyeksi bakal netral atau tidak terpengaruh banyak dari depresiasi. Sebab, baik penerimaan maupun biaya operasi sebagian besar berada dalam denominasi USD. "Terkait dengan utang luar negeri USD 858 juta, sekitar 70 persen dalam denominasi yen dan hanya 30 persen dalam USD," paparnya.
 
Sementara itu, bagi sebagian besar perusahaan di sektor telekomunikasi, depresiasi rupiah diproyeksi tidak akan mengancam kinerja. Riset Fitch menjelaskan, Telkom sebagai perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia memiliki utang dalam denominasi USD yang cukup kecil. Yakni, USD 180 juta atau hanya 12 persen dari total utang perseroan. "Jadi, masih aman," terangnya. 
 
Erlin mengungkapkan, Xl Axiata serta dua perusahaan penyedia jasa tower telekomunikasi, yakni Protelindo dan Tower Bersama, dinilai aman dari depresiasi karena porsi utang dalam USD kecil. Utang besar seperti Protelindo (USD 475 juta atau 63 persen dari total utang) tetap aman karena jatuh tempo masih 2018.
 
Namun, perhatian layak ditujukan pada Indosat. Sebanyak 43 persen dari total utang perusahaan telekomunikasi kedua terbesar di Indonesia tersebut dalam denominasi USD, yakni sebesar USD 950 juta. Sebanyak 25 persen di antaranya yang dilindung nilai (hedged). "Karena itu, Fitch memperkirakan profit Indosat akan turun karena depresiasi," terangnya.
 
Namun, Bakrie Telecom (BTEL) dinilai Fitch sebagai yang bakal terpengaruh paling parah terhadap depresiasi rupiah. Sebab, penerimaan BTEL berada dalam denominasi rupiah. Lebih dari 95 persen utang berdenominasi USD. "Pada 2015, utang USD 380 juta jatuh tempo dan sebagian besar tidak dilindung nilai," ucapnya. (owi/c18/oki)

BACA JUGA: Investor Pabrik Baja Diminta Hengkang dari Situs Trowulan

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Iskan Tak Ingin Direksi BUMN Mirip Bebek


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler