jpnn.com, JAKARTA - Pembangunan fasilitas peleburan (smelter) sebagai bagian dari operasi penambangan terintegrasi terus didorong pemerintah.
Sebab, kebijakan tersebut diyakini dapat membantu mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam ekosistem kendaraan listrik global.
BACA JUGA: Pengamat Ekonomi Dukung Menteri Bahlil Syaratkan Freeport Bangun Smelter di Papua
Pengembangan smelter nikel juga sebagai bagian dari kebijakan hilirisasi logam Indonesia, sangat penting untuk memastikan realisasi tujuan Indonesia menjadi produsen nikel global.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengingatkan bahwa salah satu aspek penting dalam bisnis smelter yang sering dilupakan adalah ketersediaan sumber energi listrik yang terjangkau dan berasal dari sumber rendah karbon.
BACA JUGA: Ada Protes Warga, Hambat PSN Smelter Nikel CNI Group
Menurut Rizal, ketersediaan dan biaya listrik adalah elemen infrastruktur penting untuk smelter.
"Sekitar sepertiga dari biaya pemrosesan logam, listrik biasanya merupakan komponen tunggal terbesar dari biaya operasional dalam operasi peleburan. Biaya aktual akan bervariasi, berkisar antara 15 persen hingga 60 persen dari total biaya operasi peleburan, tergantung pada jenis logam, jenis tungku, proses yang digunakan, dan sumber listrik," jelas Rizal dalam keterangannya yang dikutip, Jumat (6/10).
BACA JUGA: PT. MPXL Dipercaya Membangun Megaproyek Smelter Amman Mineral di Sumbawa
Rizal menutuskan pemerintah harus memastikan akses terhadap listrik yang berasal dari sumber karbon rendah sangat penting untuk keberlanjutan operasi smelter. Ini tidak hanya berkontribusi untuk mengurangi biaya operasional tetapi juga selaras dengan tujuan keberlanjutan global.
CEO PT Vale Indonesia Febriany Eddy mengatakan bahwa komitmen menyediakan listrik dengan karbon lebih rendah salah satunya telah dilakukan PT. Vale Indonesia Tbk (PT Vale).
Pihaknya mengoperasikan tiga pabrik hydro, yakni PLTA Larona, Balambano, dan Karebbe, dengan kapasitas gabungan 365 Megawatt (MW).
Pengoperasian fasilitas ini secara signifikan mengurangi emisi GRK sebesar lebih dari 1 juta ton CO2EQ per tahun dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar batubara.
Selain itu PT. Vale Berkolaborasi dengan Zheijiang Huayou, menerapkan teknologi HPAL yang diimplementasikan di Blok Pomalaa dan Blok Sorowako, berkontribusi pada upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
"Teknologi ramah lingkungan dan adopsi sumber energi yang bukan berasal dari batubara akan semakin meminimalkan emisi di fasilitas smelter yang dimiliki," ungkapnya.
Sejalan dengan target lingkungan, PT Vale Indonesia menargetkan pengurangan 33 persen dalam Emisi Lingkup 1 dan 2 pada 2030 dan Net Zero Emission (NZE) ada 2050.
"Kami berkomitmen untuk menggunakan sumber energi alternatif rendah karbon untuk semua kebutuhan energi pembangkit nikel yang baru. Meskipun pilihan ini lebih mahal, pengabdian kami yang tak tergoyahkan mendorong kami menuju realisasi NZE," pungkas Febriany.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul