jpnn.com - JAKARTA - Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina menilai, konflik pertanahan di Kepulauan Aru, Maluku tidak lepas dari pertarungan pengaruh di Pasifik Selatan yang melibatkan Amerika dan China.
Menurutnya, berbagai pihak berusaha mencari posisi strategis dan Kepualaun Aru sebagai pulau terluar menjadi target penguasaan untuk memudahkan pergerakan armada laut.
BACA JUGA: KLHK Tangkap Selundupan 38 Kontainer Kayu Ilegal dari Kepulauan Aru Â
Engelina Pattiasina mengatakan hal tersebut dalam diskusi “Penguatan dan Percepatan Pelaksanaan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kepulauan Aru untuk Penyelesaian Konflik Agraria melalui Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 2 Tahun 2022” yang digelar Papua Study Center di Ruang Berkarya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (5/7).
Selain Engelina, beberapa narasumber dalam diskusi tersebut, antara lain\ Prof. Dr. Ir. Endriatmo Soetarto, MA (Guru Besar Kajian Politik Agraria, IPB University); Mercy Chriesty Barends, ST (DPR RI, Dapil Maluku), Mufti Fathul Barri (Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia); Saurlin Siagian (Komisioner KOMNAS HAM), dan Erasmus Cahyadi (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN).
BACA JUGA: Masyarakat Kepulauan Aru Butuh Maskapai Tambahan
Lebih lanjut Engelina mengatakan, pergeseran geopolitik ke kawasan Pasifik menjadikan kawasan ini menjadi ajang rebutan pengaruh antara Amerika dan China.
China memperkuat pengaruh melalui permodalan. Amerika merespon dengan menggandeng Australia dan United Kingdom (Britania Raya) untuk membangun aliansi baru AUKUS yang merupakan singkatan dari Australia, United Kingdom dan United States pada 2021.
BACA JUGA: Soal Pangan Lokal, Engelina Pattiasina Bilang Begini
Belum lama ini atau pada Maret 2023, sambung Engelina, Amerika sudah berkomitmen untuk mengembangkan kapal selam berkekuatan nuklir di Australia sebanyak delapan armada.
Keberadaan kapal selam dengan kecepatan tinggi ini, kata Engelina, hampir mustahil untuk tidak menjadikan perairan kawasan timur sebagai jalur perlintasan.
“Jadi, persaingan pengaruh di kawasan pasifik seperti itu, tetapi, kita seperti melupakan kawasan ini,” kata Engelina yang juga mantan Anggota DPR RI ini.
Engelina mengingatkan, sebagian besar kawasan timur berada dalam gugusan pasifik, yang dapat dilihat dari kultur dari ras Melanesia. Karena itu, katanya, Indonesia sebenarnya harus memainkan peran yang strategis di kawasan ini.
Untuk itu, kata Engelina, kunjungan Presiden Jokowi ke Australia, kemudian lanjut ke Papua Nugini tidak lepas dari situasi pasifik yang menjadi sasaran pertarungan kekuatan global.
Terlebih, kata Engelina, di sekitar Kepulauan Aru ini memiliki sumber energy yang dapat dimanfaatkan dalam situasi pertempuran.
“Saya melihat apa yang terjadi Kepulauan Aru ini, tentu karena ada banyak pihak yang mau memiliki posisi strategis, karena Aru berada di sekitar Laut Arafura, dimana langsung berhadapan dengan Australia. Tidak mungkin kalau kapal Selam AUKUS itu jadi tidak beroperasi di Arafura,” kata Engelina.
Namun, Engelina mengatakan, pemerintah harus memastikan jaminan perlindungan terhadap masyarakat lokal di Kepulauan Aru, termasuk berbagai sumber daya alam. Dia meminta agar pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan secara konsisten.
“Pertahanan Negara yang terbaik dengan menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat, bukan dengan membangun basis militer. Apalagi, sampai mengorbankan rakyat.”
“Masyarakat berhak untuk mempertahankan ruang kehidupannya. Berikan kesejahteraan karena itu pertahanan yang terbaik," cetus Engelina.
Engelina mengatakan, dengan pergeseran geopolitik global ke kawasan Pasifik, sudah saatnya untuk Indonesia untuk mulai membangun dari kawasan timur, tetapi kalau terus mengabaikan kawasan timur, maka Indonesia akan semakin tertinggal di Pasifik.
Engelina juga menyoroti kemiskinan yang terjadi di Maluku, seperti juga di Papua dan NTT.
Menurutnya, kemiskinan itu sangat sulit untuk diatasi keberadaan sistem yang membuat kawasan timur tidak bisa mengejar ketertinggalan.
“Dana Alokasi Umum ditetapkan dengan menggunakan kriteria jumlah penduduk, dan luas wilayah darat. Sementara Maluku jumlah penduduknya sedikit dan luas darat sangat kecil, karena terdiri dari pulau kecil. Sampai kapanpun anggaran yang ada di Maluku akan tetap kecil, karena diatur seperti itu,” tegasnya.
Engelina menilai, dana dari pusat ke Maluku stagnan dari tahun ke tahun, karena jumlah penduduk kecil dan luas daratnya kecil.
Jika situasi terus seperti ini, maka akan sulit untuk keluar dari kemiskinan. Sementara investasi dari luar terus mengalir yang berpotensi menjadikan masyarakat adat dan lokal tersisih.
Engelina mengingatkan, agar persoalan tanah yang muncul di Kepulauan Aru direspons dengan cerdas, sehingga masyarakat lokal tetap memiliki ruang lingkungan yang memungkinkan kenyamanan.
Sebab, kata Engelina, kalau mengedepankan pendekatan hukum, pengalaman yang ada menunjukkan masyarakat sering kalah melawan institusi Negara dan korporasi.
Untuk itu, katanya, masyarakat memperkuat konsolidasi untuk melakukan perlawanan politik.
“Masyarakat berhak untuk mempertahankan ruang kehidupannya. Hal yang dialami masyarakat Kepualaun Aru ini hampir sama dengan apa yang terjadi di Sangihe,” tegasnya. (rls/sam/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu