jpnn.com - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dinilai telah membuat sejumlah keputusan yang makin mengundang kemarahan Amerika Serikat, meskipun Presiden Donald Trump sejauh ini masih menahan diri untuk memberikan sanksi tambahan.
Salah satunya yang dipermasalahkan Gedung Putih adalah soal pembelian rudal pertahanan canggih buatan Rusia S-400. Transaksi ini membuat Washington semakin frustrasi dengan Turki dan membuat pandangan Amerika atas Ankara berubah, lansir Al-Arabiya, Jumat(24/7).
BACA JUGA: Keputusan Presiden Erdogan Sangat Menyakiti Perasaan Paus Fransiskus
Pada Juli 2019 lalu, Turki menerima paket pertama rudal pertahanan S-400 Rusia. Pembelian ini membuat Turki akhirnya dikeluarkan dari program kepemilikan jet tempur canggih F-35. Pilot Turki juga diminta segera pulang dari pelatihan di Amerika.
Dikeluarkannya Turki dari program F-35 diumumkan Senin lalu. Departemen Pertahanan AS kemudian memutuskan membeli delapan pesawat F-35A Lightning II yang seharusnya menjadi jatah Turki.
BACA JUGA: Rezim Erdogan Kembali Tangkap Jurnalis
Tetapi Turki tidak bergeming atas sanksi itu dan terus maju dengan agendanya sendiri. Ankara bahkan mengancam akan membalas sanksi Amerika.
Setelah mengabaikan protes dari Washington juga sekutu NATO, AS kemudian menjatuhkan sanksi kepada Turki Oktober lalu karena operasi militernya pada kelompok Kurdi di Suriah Utara. Trump kemudian melanjutkan dengan memberi sanksi kebijakan tarif, dan sanksi kepada pejabat kementerian luar negeri, kementerian pertahanan dan menteri dalam negeri Turki.
BACA JUGA: Sikap Antikritik Erdogan Bunuh Satire Politik Turki
Namun Turki tetap berjalan dengan kemauannya sendiri. Saat ini Turki malah ikut mengambil bagian dalam operasi militer di wilayah Suriah, Irak, dan Libya. Hal itu dinilai akan mengganggu kestabilan hubungan mereka dengan Uni Eropa, termasuk upaya eksplorasi di perairan Yunani dan Siprus untuk memanfaatkan cadangan gas alam.
Di Irak, Turki diduga bersama Iran tengah melakukan operasi menumpas pasukan Kurdi di mana populasi Kurdi dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan bangsa-bangsa lainnya oleh Ankara dan Teheran. Hal itu mendapatkan protes dari Arab Saudi, dan juga para pejabat AS.
Berdasarkan Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) 2017, AS diketahui dapat menjatuhkan sanksi kepada siapapun yang melakukan transaksi militer "signifikan" dengan musuh AS, termasuk Rusia.
Atas pembelian rudal S-400 dari Rusia, sejumlah anggota Kongres Amerika minggu lalu tengah merancang adanya sanksi baru kepada Turki.
"Sudah waktunya bagi AS untuk membuatnya sangat jelas bahwa tindakan (Turki) tidak akan ditoleransi dan akan mendapat konsekuensi serius," kata Adam Kinzinger, salah satu anggota kongres.
RUU sanksi baru itu diajukan oleh Kinzinger bersama oleh seorang anggota kongres Demokrat dan Republik lainnya.
"Undang-undang yang kita miliki memungkinkan hal itu dan memasukkan tindakan Turki sebagai pelanggaran yang dapat dikenai sanksi secara eksplisit," tambah Kinzinger.
Anggota kongres Abigail Spangberger menyebutkan bahwa tindakan Turki baru-baru ini tidak sesuai dengan kebijakan keamanan Amerika dan kepentingan sekutu NATO lainnya.
Selain AS, Presiden Prancis Emmanuel Macron juga meminta Uni Eropa memberikan sanksi terhadap Ankara atas dugaan "pelanggaran" perairan Yunani dan Siprus. Ia juga menyarankan agar Uni Eropa mengambil tindakan atas krisis di Libya.
"Sanksi ini perlu diberikan agar gencatan senjata dapat dicapai dalam krisis Libya," ujar Macron, Kamis (23/7).
Sementara itu, otoritas Turki bulan lalu menjatuhkan hukuman atas seorang karyawan konsulat AS dengan tuduhan telah membantu pengkhotbah Turki yang berbasis di AS, Fethullah Gulen.
Metin Topuz, seorang penerjemah dan asisten Badan Penegakan Narkoba AS, dijatuhi hukuman lebih dari delapan tahun penjara. Langkah itu dikecam oleh Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo karena disebutnya akan "merusak" hubungan bilateral.
Di sisi lain sejak Februari tahun ini, pemerintah Turki telah menahan lebih dari seribu orang karena dugaan hubungan dengan Gulen, yang dituduh mengatur upaya kudeta yang gagal pada 2016. Sejak upaya kudeta itu, sekitar 80.000 orang telah ditahan dan sedang menunggu persidangan. Sedangkan 150.000 pegawai negeri, personil militer dan lainnya telah dipecat atau ditangguhkan.
Gulen kemudian membantah dan balik menuduh Erdogan berada di balik skenario upaya kudeta untuk melanggengkan kekuasaannya.
Ankara telah mengajukan permintaan resmi kepada Amerika untuk mengekstradisi Gulen kembali ke tanah kelahirannya di Turki, bersama dengan para pembangkang lainnya yang melarikan diri ke AS. Namun permintaan itu ditolak.
Sebaliknya, beberapa anggota parlemen AS menyampaikan pendapat menentang Erdogan bulan lalu sebagai dukungan kepada bintang NBA Turki Enes Kanter, yang memang berseberangan dengan Turki.
Selain itu perubahan status Hagia Sophia juga mendapat protes dari pejabat Amerika. Anggota Kongres Steve Cohen mengatakan bahwa perubahan status monumen itu hanya "untuk memenuhi keinginan politik dalam negeri jangka pendek" dan menurutnya itu sebuah kesalahan.
?
Namun hal itu dibantah oleh Turki dan menyatakan bahwa perubahan status Hagia Sophia adalah kedaulatan nasional dan menjadi hak penuh Turki. Amerika juga diminta mengurus urusan dalam negerinya sendiri. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil