jpnn.com - JAKARTA - Perusahaan tambang yang mengajukan izin agar bisa mengekspor mineral mentah terus bertambah. Saat ini sudah ada lima perusahaan yang mendaftar untuk mendapatkan lampu hijau ekspor konsentrat.
Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sukhyar mengatakan, pihaknya sudah mengeluarkan surat rekomendasi bagi lima pemegang kontrak karya (KK) yang ingin mengekspor konsentrat mineral.
Dua di antaranya adalah raksasa PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Selain itu, ada PT Sebuku Iron Lateritic Ores, PT Lumbung Mineral Sentosa, dan PT Sumber Suryadaya Prima.
BACA JUGA: Jero Wacik Ogah Bahas Perpanjangan Izin Freeport
"Sudah kami buat surat rekomendasinya. Hari ini akan kami kirim ke Kementerian Perdagangan untuk mendapatkan SPE (Surat Persetujuan Ekspor). Nanti lainnya menyusul," ujarnya di Jakarta kemarin (24/4).
Dia mengatakan lima perusahaan pengaju izin ekspor konsentrat itu bersedia menyetor jaminan kesungguhan pembangunan pabrik pengolahan (smelter).Dana tersebut diakui bakal disimpan di bank BUMN. Terkait bank mana yang bakal menyimpan dana tersebut, Sukhyar mengaku bakal menunjuk langsung tanpa melalui lelang.
BACA JUGA: Hatta: Penundaan Akuisisi BTN Sesuai Arahan Presiden
"BNI dan BRI sudah datang kepada kami terkait jaminan kesungguhan. Jadi tidak usah lelang, ditetapkan langsung saja yang penting bank nasional," jelasnya.
Soal insentif bea keluar (BK), pihaknya menolak berkomentar lebih lanjut. Menurut dia, hal itu sudah masuk dalam ranah Kementerian Keuangan. Pihak Kementerian ESDM hanya mengawasi keberlangsungan pembangunan smelter.
BACA JUGA: PLN-Pertamina Akhirnya Sepakat Bangun Proyek Geothermal
"Bea keluar itu kewenangannya Kementerian Keuangan. Kalau rekomendasi ekspor dari kami yang akan diterbitkan hari ini (kemarin) juga," ungkapnya.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba Kementerian ESDM Dede Suhendra menambahkan, kuota ekspor untuk lima pengaju itu masih harus dihitung. Namun yang jelas, lanjut dia, kuota tersebut tak boleh mengurangi jatah pengolahan domestik.
"Yang jelas maksimal ekspor itu produksi dikurangi yang diolah dalam negeri," jelasnya.
Pemerintah juga bakal terus mengawasi hilirisasi tersebut lewat SPE. Menurut dia, masa berlaku SPE selama enam bulan ini bakal menentukan insentif BK yang bakal diterima. Hal itu bakal dilihat dari kemajuan proyek smelter.
"Ya kami akan lihat. Setiap enam bulan akan kami evaluasi. Kalau tidak ada kemajuan pembangunannya bea keluarnya bisa naik," terangnya.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian M. S. Hidayat menyatakan, dari 55 perusahaan yang mengajukan izin pembangunan smelter, hanya lima yang merealisasikan. Lima smelter yang sudah masuk tahap realisasi dan siap realisasi tersebut terletak di sejumlah daerah.
Yakni Bintan (1), Sulawesi (2), Sumatera Utara (1), dan Kalimantan (1). Kapasitas pengolahan smelter yang dibangun itu masing-masing sekitar 300 ribu ton per tahun.
Pembangunan smelter itu membutuhkan modal besar, yakni sekitar USD 1 miliar hingga USD 1,5 miliar. Dengan begitu, total investasi lima smelter itu bisa mencapai USD 7 miliar.
"Pembangunannya butuh waktu tiga atau empat tahun. Jadi, paling cepat 2017 bisa beroperasi," ucapnya. (bil/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri BUMN Tak Terima Rencana Akuisisi BTN Dianggap Meresahkan Masyarakat
Redaktur : Tim Redaksi