Etos Budaya Bahari Kian Tergerus

Kamis, 13 Desember 2012 – 03:01 WIB
MAKASSAR - Indonesia terkenal dengan sebutan negara kepulauan karena memiliki puluhan ribu pulau. Dominasi wilayah perairan membuat warganya pasti bersinggungan dengan laut. Oleh para pendahulu, laut dianggap sebagai daratan. Tempat makan dan memperoleh kehidupan.
   
Salah satu selat yang terkenal di Indonesia yakni selat Makassar. Jiwa kemaritiman pun tercermin dalam setiap tindakan para penduduk Bugis-Makassar. Sikap ulet dan pantang menyerah merupakan ciri khusus yang dimiliki etnik ini. Dahulu, para nenek moyang Bugis-Makassar berani menantang ombak lautan demi mengejar apa yang diharapkan.
   
Guru besar Unhas, Prof Tahir Kasnawi memaparkan hal tersebut pada Seminar Internasional Selat Makassar di Lantai 4 Gedung Graha Pena Makassar. Seminar yang dipandu Wakil Kepala Redaksi Harian FAJAR, Uslimin ini juga menghadirkan Guru Besar UNM, Prof Andi Agustang.
   
"Ada hal miris yang terjadi pada para nelayan kita. Kalau kita belajar sejarah, maka kita pasti menemukan bahwa para nelayan atau masyarakat baharilah yang paling tinggi etos kerjanya. Namun hal itu bertentangan dengan yang terjadi saat ini. Banyak penelitian mengungkapkan, bahwa nelayan adalah kaum paling termarginalkan dari segi kemiskinan," papar Prof Tahir.
    
Salah satu hal yang memengaruhi, kata dia yakni kesalahan sistem pembangunan yang diterapkan pemerintah. Selama ini, pemerintah cenderung menyamaratakan pembangunan antara masyarakat daratan dengan masyarakat kepulauan.
   
"Pemerintah harusnya bisa memilah program yang tepat bagi pembangunan dan pengentasan kemiskinan masyarakat pulau," tambahnya.
   
Sementara itu Prof Andi Agustang yang membawakan materi mengenai etos kerja orang Bugis tentang nilai-nilai hidup dalam tradisi maritim, lebih banyak menggambarkan kondisi kepribadian orang Bugis zaman dahulu. 
   
"Kalau kita melihat sejarah, saya sendiri tidak begitu mengerti mengapa tolok ukur kemiskinan lebih berpihak pada masyarakat bahari saat ini. Mereka punya etos kerja dan semangat yang tinggi. Kalau dibilang kesalahan sistem yang dilakukan pemerintah, mungkin saya lebih sepakat," terangnya.
   
Menurut dia, sebagai bukti bahwa masyarakat maritim Indonesia, khususnya Makassar begitu disegani  yakni dengan munculnya sejumlah julukan. Di antaranya, julukan raja laut atau pun pelaut ulung.
   
Fakta lain yang disampaikan Andi Agustang yakni larik pada beberapa bait lagu nyanyain laut yang benar-benar menggambarkan betapa besar keperkasaan para pelaut Bugis. Pada salah satu bait seperti yang disebutkan Andi Agustang yang artinya dengan benang sutera seutas sebagai tali perahu, dengan jarum sebatang jangkarku aku tetap berlayar.
   
Begitu pun dengan bait selanjutnya yang berbunyi, merantau adalah napas hidupku, laut adalah daratanku, agar memperoleh yang lebih baik. Dilanjutkan, meski diadang topang, kemudi tetap kuputar, lebih baik tenggelam dari pada surut.  "Semua ini adalah fakta-fakta yang sangat kuat bahwa nenek moyang kita sebagai pelaut adalah manusia-manusia tangguh dalam mengarungi lautan," tegasnya.
   
Fitri salah satu peserta, sependapat dengan Prof Tahir Kasnawi. Menurut dia, perhatian pemerintah menjadi sandaran majunya masyarakat bahari utamanya mereka yang berada di pulau.
   
Lain lagi dengan peserta lainnya, Ciki. Mahasiswa UNM ini, memertanyakan kondisi saat ini yang jauh dari etos kerja yang dimiliki para pendahulu. "Selain kurang tepatnya perhatian pemerintah, sistem kapitalisme seperti Punggawa-Sawi yang terjadi di masyarakat nelayan merupakan salah satu faktor yang membuat para nelayan terperangkap dalam lembah kemiskinan," kara Tahir menanggapi. (iad/pap)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Buruh di Kawasan Industri Rawan Terserang HIV/AIDS

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler