jpnn.com, INGGRIS - Ketua FA Inggris Greg Clarke menilai laga Inggris melawan Bulgaria pada babak kualifikasi Piala Eropa 2020, paling mengerikan.
Laga tersebut digelar di Stadion Nasional Vasil Levski, Sofia, Selasa, 15 Oktober 2019.
BACA JUGA: Vietnam Gelimang Gelar 4 Tahun Terakhir, Indonesia Mangalami Kehampaan Trofi
Tim nasional Inggris tampil begitu dominan melawan tuan rumah Bulgaria.
Akan tetapi, yang diingat dari laga tersebut bukanlah soal skor besar 6-0, melainkan kenyataan kemenangan Three Lions dinodai tindakan rasis dari suporter tuan rumah.
BACA JUGA: 472 Ribu Orang Tewas di Brasil, Copa America Harus Ditunda
Pertandingan bahkan harus dihentikan dua kali setelah suporter terdengar melantangkan nyanyian monyet yang ditujukan kepada pemain kulit hitam dari tim tamu.
Itulah sebabnya Clarke yang hadir di Stadion Levski mengatakan, laga tersebut paling mengerikan sepanjang yang pernah dia saksikan dalam pertandingan sepak bola.
BACA JUGA: Rusia Marah dengan Jersey Baru Ukraina, Picu Ketegangan 2 Negara Enggak ya?
Aksi yang dikatakan Clarke mengerikan itu juga terekam oleh saluran TV Inggris.
Menunjukkan sekelompok pria mengenakan pakaian serba hitam dengan mulut ditutup dan menyerukan olok-olok rasis dari arah tribun.
Menyadari pelecehan yang terjadi, Harry Kane memimpin protes timnas Inggris kepada wasit atas cemoohan rasis yang diarahkan kepada bek debutan Tyronne Mings.
Wasit segera menghentikan pertandingan dan panitia memperingatkan suporter agar menghentikan tindakan rasis dari pengeras suara stadion.
Pelecehan pun masih berlanjut dan memaksa pertandingan dihentikan lagi pada menit ke-42 setelah manajer Gareth Southhgate mengajukan protes kepada ofisial di tepi lapangan.
Kapten Bulgaria Ivelin Popov bertindak langsung dengan berbicara kepada suporter yang pada akhirnya sebagian dikeluarkan dari tribun stadion.
Reporter Sky Sports Rob Dorsett mengaku mendengar teriakan ‘monyet’ pada enam kesempatan ketika Tyrone Mings dan Marcus Rashford menguasai bola.
“Saya mendengar seorang suporter dengan jelas berteriak ‘Hei, monyet’ saat Mings mengoper bola,” kata dia.
Mings menyayangkan debutnya bersama timnas senior Inggris itu harus sedikit dinodai dengan perlakuan rasis.
Dia mengaku tak terlalu mengacuhkan itu dengan meyakini penampilannya dalam pertandingan cukup menjadi pembuktian kepada para pelaku rasis.
Sementara itu, penyerang Inggris Raheem Sterling melalui akun Twitter-nya mencuitkan bahwa dia merasa kasihan terhadap Bulgaria yang “diwakili oleh orang-orang idiot di dalam stadion mereka.”
Akibat ulah suporternya, Bulgaria pun didenda sekira 65.000 pound oleh UEFA dan harus memainkan dua pertandingan tanpa penonton.
Sebelum melawan Bulgaria, timnas Inggris telah lebih dulu mendapat pelecehan rasial saat laga tandang menghadapi Montenegro, Maret 2019.
Inggris memang menang besar 5-1, tetapi kemenangan itu harus kembali didahului dengan tindakan penghinaan rasis yang pada saat itu dilontarkan kepada bek Dany Rose.
Rose menjadi sasaran suporter atas cemoohan rasis berupa nyanyian monyet.
Raheem Sterling juga mendapat ejekan sebagaimana didapat Rose setelah gelandang Manchester City itu merayakan gol kelima Inggris dengan menutup telinganya kepada para pendukung Montenegro.
Tak hanya teriakan monyet, Callum Hudson-Odoi yang tampil mengesankan pada debutnya, mengatakan suporter Montenegro juga melemparkan korek api ke arah para pemain Inggris ketika mereka merayakan gol Sterling.
“Ironi dari sepak bola adalah ketika ruang ganti bisa mempersatukan kami terlepas dari agama maupun warna kulit yang berbeda, tetapi kami masih dihadapkan pada masalah ini (rasisme),” kata Southgate kepada beIN Sports seperti dikutip Reuters.
Sebagai hukumannya, Montenegro hanya disanksi UEFA untuk memainkan laga kandang mereka tanpa penonton serta denda 17.500 pound.
Piala Eropa 2020 Bebas Rasisme?
Hukuman dan sanksi yang diterapkan badan pengelola sepak bola itu sayangnya tidak serta merta menurunkan angka kasus rasisme.
Berdasarkan laporan tahunan Kick It Out, organisasi antirasisme dan antidiskriminasi, terjadi peningkatan mengejutkan untuk kasus rasisme yang terjadi dalam sepak bola musim 2019/2020, kendati kompetisi sempat dihentikan beberapa bulan karena pandemi COVID-19.
Pada musim yang sama juga terdapat 282 kasus rasisme yang dilaporkan. Angka itu naik 53 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 184 kasus.
Organisasi tersebut juga melaporkan bahwa jajak pendapat menunjukkan 30 persen responden menyaksikan komentar atau nyanyian berbau rasisme dalam pertandingan sepak bola pada musim kompetisi 2019/2020.
Selain itu, 70 persen dari mereka juga menyatakan menemukan komentar bernada rasisme yang diarahkan kepada para pemain sepak bola dalam media sosial.
Dalam upaya memerangi perilaku rasisme, FIFA sebetulnya telah merilis Kode Disiplin baru pada Juli 2019.
Badan tertinggi sepak bola tersebut telah meminta seluruh tim yang berlaga untuk menghentikan pertandingan jika suporter terbukti bersalah atas perilaku rasial dan tindakan diskriminatif lainnya.
Langkah tersebut dapat diterapkan setelah wasit menerapkan prosedur tiga langkah untuk menangani insiden itu.
Yakni, meminta suporter menghentikan perilaku tersebut, lalu menghentikan sementara pertandingan, dan terakhir meninggalkan pertandingan.
Kode Disiplin baru itu memperluas ruang lingkup tentang tindakan rasialisme dan diskriminatif, antara lain yang melecehkan ras, warna kulit, etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, dan agama.
Protokol tersebut sudah diterapkan dalam beberapa pertandingan, termasuk laga kualifikasi Piala Eropa 2020 saat wasit memutuskan menghentikan sementara laga antara Bulgaria dan Inggris setelah penggemar bertindak rasis terhadap beberapa pemain.
Meski kasus rasisme sempat menodai beberapa pertandingan, badan pengelola sepak bola Eropa UEFA memperkirakan EURO 2020 akan terbebas dari berbagai tindakan penghinaan rasial.
Wakil Presiden UEFA Giorgio Marchetti mengaku tidak takut insiden-insiden itu tumpah ke putaran final yang akan dimulai 11 Juni nanti.
"Berdasarkan pengalaman kami, Euro selalu menjadi ajang yang menggembirakan, terutama di dalam stadion," kata Marchetti.
“Kami yakin atmosfer keriaan itu akan menjadi prioritas kami di atas berbagai tindakan bodoh dan terkadang kriminal, yang sayangnya terus terjadi di sepak bola."
UEFA juga menyatakan akan bekerja sama dengan otoritas keamanan nasional serta keamanan publik dari 12 kota tuan rumah.
Khususnya dengan pihak berwenang pemerintah kota di masing-masing negara guna mencegah berbagai aksis rasisme terjadi dalam final nanti.
Dari teriakan penonton di stadion hingga cemohoon di media sosial, rasisme seakan menjadi laga yang tak pernah usai.
Piala Eropa 2020 pun hadir mengambil peran tidak hanya mencoba menyematkan harapan di tengah ketidakpastian, tetapi juga ajang pembuktian sejauh mana FIFA, UEFA, dan asosiasi sepak bola setiap negara memberikan edukasi kepada para pemain dan suporter dalam melawan rasisme.
Piala Eropa 2020 untuk pertama kalinya akan digelar di 11 stadion di 11 negara di benua itu, mulai dari Amsterdam di Belanda hingga Baku di Azerbaijan.
Kejuaraan itu juga dipastikan akan dihadiri belasan hingga puluhan ribu penonton dan diharapkan bisa membangkitkan kembali gairah di tengah pandemi.
Jangan sampai sejarah baru ini justru tercoreng dengan permasalahan klasik seperti rasisme, mengubah gairah yang seharusnya membuncah menjadi cemoohan dan pelecehan memalukan.(Antara/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Ken Girsang