JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai rencana pemerintah mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) ke DPRD sebagai ide yang perlu didukung. Menurutnya, sebagai bagian dari evaluasi atas pelaksanaan otonomi daerah, pilkada oleh DPRD memang lebih menjamin berkurangnya penyimpangan.
Mahfud menyampaikan hal itu ketika menjadi pembicara pada seminar nasional bertema "Mau Dibawa ke Mana Indonesia?" yang diselenggarakan sebuah koran nasional di Jakarta, Selasa (11/6). Guru besar ilmu hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) itu menceritakan pengalamannya ketika menyidangkan perkara pilkada di MK.
Mahfud pun membeber berbagai modus kecurangan di pilkada. Misalnya Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dicatut oleh salah satu kubu pasangan calon untuk persyaratan dukungan saat mendaftar di KPU daerah.
Atau, ada pula KPU di daerah yang berpihak ke salah satu pasangan calon dengan mengganjal pasangan calon lainnya. Sementara keuangan daerah pun sering dialokasikan demi mendukung pemenangan incumbent. "Terbukti ada juga KPUD yang menjadi alat jegal bagi calon lain. Belum lagi soal anggaran, banyaklah,” kata Mahfud.
Diakuinya, mulanya Pilkada langsung oleh rakyat memang dimaksudkan untuk koreksi pemilihan oleh DPRD yang hanya jadi lahan korupsi para legislator di daerah. Namun ternyata, lanjut Mahfud, pilkada langsung pun tak membuat politik uang berkurang.
Karenanya Mahfud mengaku setuju untuk menekan penyimpangan itu maka pilkada dikembalikan lagi ke DPRD. “ Lalu muncul usulan kembali ke DPRD saja, ya kenapa tidak?” katanya.
Sedangkan pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi, mengatakan, praktik desentralisasi saat ini memang perlu dievaluasi. Menurutnya, nyaris tak ada hierarkhi dalam penerapan otonomi daerah saat ini.
Karenanya bila UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hendak direvisi, maka sistem politik hukum dalam beleid itu juga harus dipertegas. “UU Nomor 32 tahun 2004 ini merupakan perwujudkan desentralisasi. Tanpa politik hukum jelas, perubahaan tak akan terjadi,” katanya. (ara/jpnn)
Mahfud menyampaikan hal itu ketika menjadi pembicara pada seminar nasional bertema "Mau Dibawa ke Mana Indonesia?" yang diselenggarakan sebuah koran nasional di Jakarta, Selasa (11/6). Guru besar ilmu hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) itu menceritakan pengalamannya ketika menyidangkan perkara pilkada di MK.
Mahfud pun membeber berbagai modus kecurangan di pilkada. Misalnya Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dicatut oleh salah satu kubu pasangan calon untuk persyaratan dukungan saat mendaftar di KPU daerah.
Atau, ada pula KPU di daerah yang berpihak ke salah satu pasangan calon dengan mengganjal pasangan calon lainnya. Sementara keuangan daerah pun sering dialokasikan demi mendukung pemenangan incumbent. "Terbukti ada juga KPUD yang menjadi alat jegal bagi calon lain. Belum lagi soal anggaran, banyaklah,” kata Mahfud.
Diakuinya, mulanya Pilkada langsung oleh rakyat memang dimaksudkan untuk koreksi pemilihan oleh DPRD yang hanya jadi lahan korupsi para legislator di daerah. Namun ternyata, lanjut Mahfud, pilkada langsung pun tak membuat politik uang berkurang.
Karenanya Mahfud mengaku setuju untuk menekan penyimpangan itu maka pilkada dikembalikan lagi ke DPRD. “ Lalu muncul usulan kembali ke DPRD saja, ya kenapa tidak?” katanya.
Sedangkan pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi, mengatakan, praktik desentralisasi saat ini memang perlu dievaluasi. Menurutnya, nyaris tak ada hierarkhi dalam penerapan otonomi daerah saat ini.
Karenanya bila UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hendak direvisi, maka sistem politik hukum dalam beleid itu juga harus dipertegas. “UU Nomor 32 tahun 2004 ini merupakan perwujudkan desentralisasi. Tanpa politik hukum jelas, perubahaan tak akan terjadi,” katanya. (ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pastikan RUU Komcad Tidak Untuk Pemilu
Redaktur : Tim Redaksi