Eyangnya Penyanyi Senior Ini Pernah Dibuang ke Pulau Bacan

Minggu, 13 November 2016 – 08:53 WIB
Dewi Yull saat diundang sebagai pembicara di sebuah diskusi yang digelar PKB, beberapa waktu lalu. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - DARI silsilah keluarga, Dewi Yull merupakan generasi ketiga Raden Mas (RM) Tirto Adhi Soerjo, perintis pers nasional.

Tirto merupakan pendiri Medan Prijaji, surat kabar nasional pertama yang menggunakan bahasa Indonesia.

BACA JUGA: Ketahuilah, Maia Estianty Keturunan Pahlawan Nasional

Seluruh pekerjanya, mulai wartawan, redaktur, percetakan, hingga penerbitan, adalah pribumi.

Medan Prijaji terbit di Bandung pada Januari 1907 hingga 1912.

BACA JUGA: Si Cantik Santai Walau Di-Bully Karena Agama

Eyang Tirto –demikian Dewi menyebutnya– menikah dan memiliki putra bernama RM Priatman yang kemudian menikah dengan perempuan Bogor dan melahirkan RM Soendaryo, ayah Dewi.

Dewi Yull yang memiliki nama lahir RA Dewi Pujiati itu adalah anak ke-4 di antara 12 bersaudara. Sang ibu, Masayu Devi, keturunan kerajaan Sriwijaya.

BACA JUGA: Sakura, Andalan Fariz RM Bangkitkan Kenangan Lama

Tirto merupakan sosok jurnalis kritis yang berjuang lewat goresan pena dan tulisan-tulisannya.

Dia berani menulis kecaman pedas terhadap pemerintah kolonial Belanda kala itu.

Juga lugas mengecam orang-orang pribumi yang menjadi antek kolonial.

Hingga kemudian, dia ditangkap dan dibuang ke Pulau Bacan, Maluku Utara.

”Tulisan-tulisan Eyang Tirto di koran Medan Prijaji masih ada di museum Belanda dan Prancis,” tutur Dewi.

Sosok Tirto sempat terlupakan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Konon, catatan-catatan mengenai kiprah Tirto sengaja dihancurkan karena dianggap sebagai orang yang paling berbahaya di Hindia Belanda kala itu.

Hingga kemudian, kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat Pramoedya Ananta Toer dalam buku Tetralogi Buru dan Sang Pemula yang sempat dilarang beredar pada Orde Baru.

Sosok Minke yang ditulis dalam buku-buku Pram tersebut terinspirasi dari Tirto Adhi Soerjo.

”Kami sebagai keluarga berterima kasih kepada Pak Pram. Kalau beliau tidak menuliskannya, mungkin sosok Eyang Tirto akan benar-benar terlupakan,” ujar Dewi yang sampai sekarang masih aktif menyanyi dan berperan di film.

Cerita mengenai seperti apa sosok Tirto disampaikan secara turun-temurun dalam keluarga.

Sosoknya yang kritis, berani memperjuangkan apa yang diyakini benar, serta punya prinsip yang kuat dan tidak mau dikasihani menjadi spirit yang mendarah daging kepada anak keturunannya.

”Itulah mengapa di antara keturunannya, jarang ada yang mau berpartai. Kebanyakan menjadi dokter, akademisi, atau terjun ke seni. Ada pula yang meneruskan jejak di bidang jurnalistik. Kami tetap berjuang dengan cara kami sendiri,” papar ibunda (alm) Gisca; Rama, 25; Surya, 23; dan Raya, 15; tersebut.

Disebutkan, Tirto yang memiliki nama lengkap Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora pada 1875 dan wafat di Jakarta pada 7 Desember 1918.

Kemudian, makamnya dipindahkan ke Bogor pada 1973, satu area dengan makam putri sulung Dewi.

Pada 1973 pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional.

Dorongan dari kalangan jurnalis, akademisi, dan sejarawan kemudian membuat pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada 2006. (glo/nor/and/c10/ang/sam/jpnn)

 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Glenn Fredly Bikin Penikmat Tangsel Jazz Festival Galau


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler