Fabby Tumiwa: Pajak Karbon Berpotensi Menekan Daya Beli Masyarakat

Rabu, 15 September 2021 – 14:44 WIB
Suasana lalu lintas di kawasan Sudirman, Jakarta. Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen pada tahun 2021 dan 29 persen pada tahun 2030. ANTARA/Dewa Wiguna

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa rencana implementasi pajak karbon berpotensi menekan daya beli masyarakat. 

Selain itu, lanjut Fabby Tumiwa, juga kontrapdouktif dengan upaya mempercepat pemulihan ekonomi karena pungutan atas emisi karbon memiliki efek berganda yang signifikan. 

BACA JUGA: Pertamina Bidik Reduksi Emisi Karbon 34 Ribu Ton per Tahun dari 5.000 PLTS GES

"Pemulihan ekonomi pascaCovid-19 pasti membutuhkan waktu lama. Kalau ekonomi baru mau pulih, namun pajak karbon ini diberlakukan bisa menjadi penghambat," kata Fabby Tumiwa dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (15/9). 

Dia menjelaskan pajak karbon yang akan dikenakan kepada produsen atau menyasar sisi produksi ini memiliki konsekuensi berupa meningkatnya ongkos produksi sejumlah produk manufaktur. 

BACA JUGA: Pertamina dan PTPN III Bersinergi Reduksi Emisi Karbon 70 Ribu Ton Per Tahun Lewat PLTBg

Sejalan dengan itu, lanjut Fabby, maka produsen akan membebankan pajak tersebut kepada konsumen dengan mengerek harga jual barang. 

Artinya, masyarakat menjadi pihak terakhir yang harus menanggung beban pajak karbon tersebut.

BACA JUGA: Kementerian LHK: Langkah Atasi Emisi Karbon Jangan Hanya Modis

Kebijakan ini juga tidak selaras dengan strategi pemerintah untuk menyehatkan ekonomi yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo yakni pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). 

Dia menuturkan jika pajak karbon diterapkan, akselerasi UMKM dikhawatirkan terhambat karena kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap ongkos produksi yang dikeluarkan.

Menurut Fabby, kebijakan ini juga berpotensi menghambat ekspansi bisnis pelaku usaha di dalam negeri karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal.

"Harus dipikirkan dampak dari kebijakan ini kepada industri-industri tertentu, karena industri yang terkena harus mempersiapkan diri," kata Fabby.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo memastikan pajak karbon akan diterapkan pada waktu yang tepat dengan besaran pungutan yang tidak membebani pelaku usaha.

“Akan dipilih sektor tertentu yang kontribusinya besar dan cukup siap untuk dipungut pajak karbon. Serta akan dikaitkan dengan insentif nonfiskal agar memberi daya dukung lebih kuat bagi investasi dan transformasi ekonomi,” kata Prastowo.

Menurutnya, saat ini pemerintah sedang memetakan berbagai pungutan yang bertujuan mengurangi emisi karbon, termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pajak daerah. 

Ketentuan ini akan diintegrasikan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penerapannya ke depan.

“Ini pentingnya mendesain bagaimana formulasi pajak karbon yang efektif untuk mencapai tujuan, tapi sekaligus tidak menjadi beban dengan pajak berganda,” kata Prastowo. (antara/jpnn) 


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler