jpnn.com, JAKARTA - Ketua Komite I DPD (Dewan Perwakilan Daerah) Fachrul Razi meminta Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan kembali pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 karena Covid-19 makin tidak terkendali dan mengkhawatirkan.
Fachrul menegaskan pertimbangan utama perlunya menunda pilkada 2020 adalah karena khawatir pilkada akan menjadi klaster penyebaran COVID-19
BACA JUGA: Survei Bima Arya: 11 Persen Reponden Percaya Covid-19 Ialah Konspirasi
Menurutnya, pandangan ini sudah disampaikan jauh sebelum pemerintah ingin pelaksanaan pilkada tetap dilanjutkan Desember 2020, setelah sebelumnya ditunda.
'Bahwa Pilkada Serentak sangat tidak rasional untuk dilaksanakan pada Desember 2020 mengingat penularan Covid-19 terus terjadi dan bahkan meningkat, sementara upaya-upaya meminimalisir penularan berjalan tidak optimal," kata Fachrul dalam keterangannya, Sabtu (12/9).
BACA JUGA: Jangan Anggap Remeh, Kenali 11 Gejala Happy Hypoxia pada Orang yang Positif Covid-19
Fachrul meminta Presiden Jokowi agar memperhatikan keadaan keselamatan rakyat dan supaya potensi terjadinya klaster pilkada tidak dianggap sepele.
DPD melalui Komite I meminta pemerintah untuk segera mengambil celah yang ada di UU Nomor 6 Tahun 2020 atau UU Pilkada, yang memberikan ruang untuk menunda pada tahun berikutnya.
BACA JUGA: Perampok Sadis Terluka dan Korbannya Berobat di RS yang Sama, ya Sudah, Rasain!
Beberapa alasan DPD menginginkan pilkada ditunda adalah pertama, fakta dan kondisi yang terjadi belakangan ini membuktikan bahwa penularan Covid-19 di daerah yang menyelenggarakan Pilkada makin masif.
Menurutnya, data yang disampaikan KPU per hari ini menyebutkan terdapat 60 calon positif Covid-19, yang tersebar di 21 daerah.
"Jumlah ini diprediksi akan terus bertambah mengingat ada 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada," ujarnya
Kedua, kata dia, selain calon, penularan Covid-19 juga makin masif terjadi di kalangan penyelenggara pilkada, baik di pusat maupun di daerah.
Per hari ini ditemukan bahwa salah satu komisioner KPU terkena Covid-19, setelah sebelumnya 21 pegawainya positif.
Di Boyolali, kata dia, Dinas Kesehatan mengonfirmasi 70 pengawas pemilu positif Covid-19.
"Penularan ini akan belum berakhir karena tahapan selanjutnya adalah kampanye, di mana diprediksi konsentrasi massa akan makin marak terjadi," paparnya.
Ketiga, lanjut dia, jumlah kasus baru positif Covid-19 yang diumumkan pada September 2020 rata-rata lebih 3.000 orang per hari.
Pada Agustus 2020, rata-rata 2.000 kasus per hari. Pada 1 September jumlah kasus baru 2.775 kasus, 2 September 3.075, 3 September 3.622, dan 10 September 3.861.
Dengan rata-rata 3.000 kasus baru setiap hari, jumlah orang yang terinfeksi virus corona di atas angka 200 ribu.
Pada 10 September 2020, jumlah orang yang terkonfirmasi positif sebanyak 207.203, sembuh 147.510, meninggal dunia 8.456.
Keempat, temuan Bawaslu lebih mencengangkan lagi, yakni terjadi sebanyak 243 pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 saat pendaftaran bakal pasangan calon 4-6 September 2020.
"Temuan 243 pelanggaran protokol kesehatan itu dalam bentuk arak-arakan atau kegiatan yang mengumpulkan banyak orang terutama menjelang proses pendaftaran," katanya.
Kelima, kata dia, pelaksanaan pilkada Desember 2020 akan memperburuk sendi-sendi demokrasi di daerah dengan makin maraknya pasangan calon tunggal yang melawan kotak kosong.
"Fenomena kotak kosong bukanlah hal yang baru akan tetapi di Pilkada 2020 diprediksi akan makin tinggi," katanya.
Ia menambahkan melihat pelanggaran protokol kesehatan yang terus terjadi, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah konkret untuk menertibkan. Pemerintah perlu menguatkan koordinasi dengan pemda yang daerahnya menggelar pilkada.
"Dan diikuti koordinasi dengan Satgas Penanganan COVID-19 di tiap-tiap daerah bersama penyelenggara pilkada," pungkasnya. (boy/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Boy