Fadli Zon Kritik Pemerintah Minim Kajian Soal Penerbangan

Minggu, 16 Juni 2019 – 23:58 WIB
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyambangi kantor KPU di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat (3/5). Foto: Aristo S/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, pemerintah mestinya mengkaji terlebih dahulu penyebab mahalnya harga tiket. Selain itu juga mengkaji kenapa jumlah penumpang di bandara antara Januari hingga April 2019 bisa anjlok hingga 20 persen.

"Benarkah anjloknya jumlah penumpang karena harga tiket mahal, atau karena ada faktor lain, seperti anjloknya daya beli, perlu ditelaah lebih dahulu, dan tidak bisa disimpulkan sepihak begitu saja," kata Fadli dalam siaran persnya, Minggu (16/6).

BACA JUGA: Fadli: Maskapai Asing Layani Rute Domestik Tabrak Aturan

Fadli juga meminta kajian apakah mahalnya harga tiket memang benar karena faktor duopoli, atau lainnya seperti jeleknya tata kelola industri penerbangan termasuk buruknya pemerintah dalam menyusun regulasi. "Itu juga kan perlu kajian," tegasnya.

Sayangnya, Fadli mencatat pemerintah memang seringkali melontarkan pernyataan sembarangan terkait kebijakan dalam industri penerbangan.

BACA JUGA: Harga Tiket Pesawat Mahal, Okupansi Hotel Meningkat

"Kesimpulan-kesimpulan mereka tak kredibel. Ada beberapa isu yang saya catat," katanya.

Pertama, ujar Fadli, ketika harga tiket pesawat pertama kali melonjak pada akhir 2018 lalu, Presiden Joko Widodo telah mengkambinghitamkan harga avtur sebagai penyebab kenaikan. Menurut dia, secara sepihak menyebut bahwa mahalnya harga avtur adalah karena monopoli Pertamina. "Padahal, harga avtur waktu itu justru sedang dalam tren penurunan," ungkap Fadli.

BACA JUGA: HIPMI Sodorkan Solusi Atasi Masalah Harga Tiket Pesawat Mahal

Dia menambahkan rata-rata harga avtur dunia yang pada Oktober 2018 berada pada level US$2,25 per galon, kemudian turun 13,52 persen menjadi US$1,95 pada November 2018, dan kembali turun menjadi US$1,71 pada Desember 2018.

"Jadi, naiknya harga tiket pesawat di Indonesia justru terjadi pada periode ketika harga avtur turun," ujarnya. Bahkan, sambung dia, maskapai-maskapai penerbangan yang tergabung dalam Indonesia National Air Carriers Association (INACA) pada Februari lalu mengakui bahwa kenaikan harga tiket memang tak berkaitan dengan avtur.

"Jadi, darimana presiden mendapatkan informasi bahwa kenaikan harga tiket akibat harga avtur?" tanya Fadli.

Kedua, lanjut Fadli, rendahnya harga tiket pesawat sebelum ini sebenarnya terjadi bukan karena efisiensi, melainkan praktik perang tarif yang dilakukan industri penerbangan.

Maskapai tidak bisa melanjutkan perang tarif sejak kurs rupiah terus merosot terhadap dolar Amerika Serikat, yang membuat biaya operasional jadi melonjak. "Terbukti, kinerja keuangan semua maskapai domestik sejak 2017 lalu memang cenderung memburuk," paparnya.

Garuda Indonesia, Fadli mencontohkan, hingga akhir kuartal III 2017 mencatatkan kerugian US$ 110,2 juta. Selain Garuda, Air Asia Indonesia juga mengalami kinerja keuangan serupa.

Pada kuartal III 2018, Air Asia menderita kerugian Rp 639,16 miliar, atau membengkak 45 persen year on year (yoy). Saat ini angkanya, menurut Kementerian Perhubungan, bahkan telah mencapai Rp 1 triliun. "Tahun ini juga tak ada satupun maskapai yang mencatatkan keuntungan," jelas Fadli.

Jadi, dia menegaskan, tertekannya maskapai penerbangan Indonesia sebenarnya juga disumbang oleh kegagalan pemerintah memperbaiki indikator-indikator ekonomi makro.

Ketiga, meskipun pemerintah terus jorjoran membangun bandara, jumlah pesawat dan rute dan frekuensi penerbangan juga bertambah, jika menggunakan data statistik, jumlah penumpang dan barang yang diangkut sebenarnya relatif stagnan, bahkan terus turun.

Jika dibandingkan dengan ketersediaan produksi, misalnya, maka sejak 2014 telah terjadi penurunan jumlah penumpang yang diangkut dari sebelumnya sebesar 82,33 persen (2014) menjadi tinggal 77,56 persen (2017).

Dia menjelaskan hal ini berarti selama ini pembangunan infrastruktur bandara, pembukaan izin rute baru, serta pemberian izin penambahan armada tidak pernah memperhatikan jumlah penumpang dan kebutuhan ril masyarakat. "Sehingga terjadi ‘oversupply’ yang membuat industri penerbangan kita tak efisien. Lagi-lagi ada sumbangan kegagalan pemerintah dalam persoalan ini," ungkap Fadli.

Lebih lanjut Fadli menilai isu presiden yang ingin mengundang maskapai asing untuk menekan harga tiket, adalah sebuah ‘misleading’. "Buatlah diagnosa yang benar, agar solusi untuk mengobati industri penerbangan kita yang sedang sakit juga benar," jelasnya.

Menurutnya, isu penerbangan ini sebaiknya tidak dilihat hanya dengan kacamata konsumerisme, yaitu bagaimana menyediakan tiket murah untuk konsumen.

"Tetapi juga harus memperhatikan aspek kedaulatan dan geostrategis pertahanan keamanan," kata wakil ketua umum DPP Partai Gerindra, itu. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dampak Penurunan TBA Tiket Pesawat Dievaluasi


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler