jpnn.com, JAKARTA - Presiden Jokowi memutuskan menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Jumat (24/4).
Anggota DPR Fadli Zon menyatakan, meski ini masih jauh dari tuntutan publik yang menginginkan RUU tersebut ditarik kembali, setidaknya penundaan tersebut tidak kian merusak upaya physical distancing untuk menekan penyebaran virus corona COVID-19.
BACA JUGA: Bikin Twit Mention Jokowi, Fadli Zon Tegaskan Tak Ada Urgensi Ibu Kota Baru RI di Masa Pandemi
Menurut dia, sebelum penundaan diumumkan, publik mendengar kaum buruh akan melakukan aksi massa melibatkan 50 ribu orang pada 30 April bila pembahasan omnibus law ini diteruskan pemerintah dan DPR.
Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, walaupun Fadli juga mendengar aksi massa tersebut akan memperhatikan jarak fisik para peserta.
BACA JUGA: Fraksi NasDem Minta Nama RUU Cipta Kerja Diubah
Fadli menegaskan bagaimanapun penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja memang sudah seharusnya dilakukan. Menurut dia, di tengah situasi krisis dan darurat nasional Covid-19, pembahasan omnibus law yang sejak awal ditolak keras berbagai elemen masyarakat tersebut sangatlah tak bijak.
"RUU itu bukan isu mendesak yg harus diselesaikan Pemerintah dan DPR," twit Fadli di akun Twitter @fadlizon dikutip JPNN.com, Minggu (26/4).
BACA JUGA: Kim Kyong Hui Dianggap Layak Gantikan Kim Jong-un, Siapa Dia?
"DPR dan Pemerintah harus bijak mengambil keputusan. Fokus kita mestinya pada bagaimana menyelamatkan anak bangsa dari ancaman pandemi Covid-19," lanjut mantan wakil ketua DPR itu.
Menurutnya, itulah sebabnya pembahasan omnibus law memang sebaiknya ditunda, atau bahkan selanjutnya ditarik kembali oleh pemerintah untuk menghindari ekses reaksi sosial yang akan menyulitkan di masa mendatang.
"Sejak awal, kita tak melihat RUU ini penting untuk diprioritaskan. Apalagi, RUU ini memiliki banyak sekali catatan. Misalnya, antara diagnosa permasalahan dengan resep yang disusunnya tidaklah sinkron," twit Fadli.
Di satu sisi, kata dia, pemerintah sering berdalih RUU ini penting untuk mendatangkan investasi. Namun, Fadli menegaskan bahwa di sisi lain norma yang banyak diubah justru mengenai peraturan ketenagakerjaan.
Padahal, Fadli menjelaskan, menurut kajian World Economic Forum (WEF) pada 2019, faktor utama penghambat investasi di Indonesia adalah korupsi, bukan isu ketenagakerjaan.
Sehingga, jika tujuan RUU Cipta Kerja ini memang benar-benar untuk memperlancar investasi, maka semestinya yang diprioritaskan pemerintah sebagai pengusul adalah penguatan agenda pemberantasan korupsi, bukan justru pelemahan regulasi ketenagakerjaan. "Itu baru satu isu," tegasnya.
Selain itu, yang paling mendasar RUU semacam ini potensial membahayakan demokrasi. Bayangkan, dengan satu RUU omnibus law, pemerintah bisa mengubah 79 UU lintas sektoral sekaligus.
Padahal, sejauh yang dipelajarinya, omnibus law di negara lain paling banyak mengubah lima hingga delapan UU saja. "Itupun yang materinya serumpun," kata Fadli.
"Misalnya, omnibus law ketenagakerjaan isinya ya hanya sebatas mengatur soal ketenagakerjaan, tidak mengubah norma undang-undang pers, undang-undang penyiaran, atau undang-undang lain yg tak serumpun," lanjutnya.
Jadi, di luar isu ketenagakerjaan yang belum-belum sudah ditolak oleh kaum buruh, RUU omnibus law ini perlu dipertimbangkan kembali oleh semua anggota parlemen karena membuat kewenangan DPR sebagai pembentuk UU jadi terdegradasi.
Hak DPR makin direduksi oleh eksekutif. Sementara, di sisi lain, kekuasaan presiden jadi demikian besar sekali.
Tidak ada lagi trias politika, jika sebuah RUU bisa menerabas 79 UU sekaligus. "Logika ini bisa merusak demokrasi," tegas wakil ketua umum Partai Gerindra itu.
Itu sebabnya, Fadli bisa memahami kenapa RUU ini ditolak oleh berbagai elemen masyarakat. Sebab, ada tendensi otoritarianisme di belakangnya.
Kekuasaan eksekutif jadi sangat luar biasa besar, di mana parlemen sekadar jadi cap stempelnya saja. "Parlemen semakin tidak relevan," katanya.
Fadli menegaskan harusnya DPR saat ini fokus mengkaji dan memperhatikan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Perppu tersebut juga mendapat banyak sorotan dan bahkan tengah dalam proses digugat di Mahkamah Konstitusi.
Banyak materi dalam perppu yang harus dikritisi DPR, seperti pelebaran defisit hingga lima persen yang secara sepihak diputuskan oleh pemerintah.
Rencana utang baru hingga lebih dari seribu triliun hingga akhir tahun ini, serta alokasi anggaran penanganan Covid-19 yang nilainya lebih dari Rp 400 triliun.
"Itu jauh lebih urgen dilakukan oleh @DPR_RI daripada membahas omnibus law," pungkas Fadli. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy