jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon menyatakan, bongkar pasang regulasi mengenai BPJS Kesehatan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir membuat tata kelolanya terlihat amatiran.
Pesertanya pun menjadi kebingungan. Di satu sisi, aspek iuran ingin dimaksimalkan. Namun, aspek manfaatnya terus-menerus dikoreksi.
BACA JUGA: Konflik Rusia dan Ukraina Memanas, Fadli Zon: Ayo Mainkan, Pak Jokowi
“Jika cara kerja pemerintah seperti itu, bagaimana orang akan tertarik menjadi peserta?” ungkap Fadli Zon, Minggu (27/2).
Sebagaimana diketahui, Presiden Jokowi pada 6 Januari 2022 menandatangani Inpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
BACA JUGA: Menag Ilustrasikan Azan dengan Gonggongan Anjing, Fadli Zon Bereaksi Keras, Astagfirullah
Inpres tersebut ditujukan kepada beberapa kementerian, kepolisian, hingga kepala daerah tingkat I dan II secara vertikal.
Termasuk yang menjadi mitra Komisi I DPR RI seperti Kementerian Luar Negeri serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
BACA JUGA: Minyak Goreng Langka, Fadli Zon Sebut Alasan Pemerintah Segudang
Inpres ini mensyaratkan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat wajib dalam mengurus sejumlah pelayanan publik.
Mulai SIM, STNK, SKCK, izin usaha, jual beli tanah, naik haji, umrah, hingga soal keimigrasian.
Bongkar pasang regulasi tersebut, jelas Fadli, terlihat saat Oktober 2019.
Presiden Jokowi pernah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran BPJS kelas I dari semula Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per bulan, kelas II dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu per bulan, dan Kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu per bulan.
“Namun, pada April 2020, perpres itu dinyatakan tidak berlaku sehingga besaran iuran BPJS kembali seperti yang diatur Perpres Nomor 82 Tahun 2018, yaitu tarif sebelum kenaikan,” ucap anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI ini.
Anehnya, pada Mei 2020, presiden kembali mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang merevisi kembali iuran BPJS Kesehatan yang berlaku mulai 1 Juli 2020.
Iuran kelas I ditetapkan menjadi Rp 150 ribu, kelas II Rp 100 ribu, dan kelas III Rp 42 ribu.
“Bongkar pasang regulasi hanya dalam hitungan bulan semacam itu tentu sangat membingungkan para peserta BPJS,” ujarnya.
Yang terbaru, pemerintah berencana menghapuskan kelas rawat inap BPJS.
Namun, hingga saat ini, peserta ditarik iuran berdasarkan kelas.
“Ini tidak adil bagi peserta yang membayar iuran lebih mahal. Bisa jadi peserta selama ini membayar iuran kelas I. Tetapi, saat giliran mengeklaim, mereka hanya bisa mengeklaim standar rawat inap yang saat ini sebenarnya milik kelas II,” duganya.
Selain itu, terkait pekerja migran Indonesia (PMI). Inpres tersebut mewajibkan PMI menjadi peserta aktif BPJS selama berada di luar negeri.
“Ini aneh. Di satu sisi, buruh migran wajib menjadi peserta BPJS, tetapi layanan BPJS sendiri tak bisa menjangkau mereka,” ujar Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP) DPR RI ini.
Dengan demikian, Fadli menilai inpres ini dikeluarkan hanya untuk mengejar dan mengumpulkan dana publik sebanyak-banyaknya.
Mulai isu dana JHT (jaminan hari tua) di BPJS Ketenagakerjaan hingga syarat kepesertaan BPJS Kesehatan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2022.
“Isu pokoknya sebenarnya bukanlah untuk melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat, melainkan negara sedang menjadikan rakyatnya sebagai sapi perah untuk menjaga kesetimbangan moneter dan fiskal pemerintah,” tandas legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat V ini. (mrk/jpnn)
Redaktur : Tarmizi Hamdi
Reporter : Tarmizi Hamdi, Tarmizi Hamdi