jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menyatakan, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintah Indonesia.
Fadli mengemukakan pandangannya dalam serangkaian cuitan yang diunggah lewat akunnya di Twitter Selasa (26/11)
BACA JUGA: Ade Armando Diduga Hina Habib Rizieq, Begini Reaksi PA 212
"Sebagai warga negara Indonesia, merujuk kepada hukum internasional ataupun nasional, HRS yang saat ini berada di Arab Saudi, memiliki hak melekat untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah Indonesia," cuit Fadli.
Sayangnya, kata Fadli, negara sampai saat ini abai terhadap hak warganya dan cenderung membiarkan masalah itu berlarut-larut.
BACA JUGA: Mahfud MD Bersedia Bayar Denda Overstay Rizieq Shihab, FPI: Enggak Usah Bantu-bantu
Padahal, sejumlah pejabat tinggi penegak hukum dan intelijen sudah menemui Habib Rizieq beberapa tahun belakangan ini.
Fadli kemudian mengutip ketentuan hukum internasional, sebagaimana diatur dalam konvensi Wina 1961 Pasal 3 dan Konvensi Wina 1963 Pasal 5. Dinyatakan bahwa negara berkewajiban melindungi warga negaranya yang tinggal di luar negeri.
Ketentuan yang sama juga diatur dalam UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Pada Bab V, Pasal 19 (b) diatur, perwakilan RI berkewajiban: memberikan pengayoman, Indonesia di luar negeri, sesuai peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.
Selain itu, Menlu Retno Marsudi dalam rapat perdana dengan Komisi I DPR RI pekan lalu, kata Fadli, telah menyatakan prioritas politik luar negeri Indonesia akan bertumpu pada prioritas 4+1, di mana salah satu prioritasnya adalah diplomasi perlindungan warga negara.
"Upaya pemerintah untuk memulangkan HRS ke tanah air seharusnya bersifat imperatif, sebagai bukti kehadiran negara dalam melindungi WNI di luar negeri. Hal tersebut merupakan wujud diplomasi perlindungan terhadap WNI, yang diatur baik oleh hukum internasional maupun nasional," cuit Fadli.
Lebih lanjut, Fadli menyatakan, dalam kasus HRS sayangnya pemerintah kerap berlindung di balik alasan sikap anti-intervensi terhadap kebijakan negara lain.
Pandangan tersebut patut diluruskan. Karena menurut Fadli, diplomasi perlindungan berbeda dengan intervensi.
Diplomasi perlindungan dilakukan melalui upaya negosiasi, sifatnya persuasif, bisa dilakukan secara terbuka ataupun tertutup.
Upaya dimaksud, kata politikus Partai Gerindra, juga tidak bisa disamakan dengan tindakan diplomasi offensive, apalagi dipandang sebagai tindakan yang mengintervensi urusan negara lain.
Upaya negosiasi memulangkan warga negara yang ditahan negara lain juga sudah lazim terjadi dalam praktik diplomasi internasional.
Fadli mencontohkan langkah yang ditempuh pemerintah AS pada 2009 lalu, mengutus mantan presiden Bill Clinton untuk bernegosiasi terkait pembebasan dua wartawan AS, Euna Lee dan Laura ling yang ditahan pemerintah Korea Utara.
"Jadi, negosiasi pemulangan seorang warga negara yang ditahan di negara lain, adalah praktik yang lazim. Sehingga, jika dalam kasus HRS pemerintah masih bersikap pasif, dan berlindung di balik alasan anti-intervensi, saya kira cara berpikir tersebut perlu dikoreksi," tulisnya.
Fadli juga menyatakan, sikap yang ditunjukkan pemerintah terhadap polemik kepulangan HRS, terkesan mempertontonkan lemahnya kualitas negosiasi dan diplomasi pemerintah dalam memperjuangkan hak warganya.
"Saya mendorong agar sikap pemerintah segera dikoreksi. Harus pro-aktif dan lebih progresif. Negara harus hadir melindungi HRS dan memfasilitasi untuk bisa kembali ke tanah air dgn sehat dan selamat. Jangan sampai hak HRS sbg WNI untuk memperoleh perlindungan negara, diabaikan hanya krn perbedaan sikap dan pilihan politik dgn pemerintahan saat ini," cuit Fadli.(gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang