Fadli Zon: Pemerintah Salah Resep, Kontraksi Ekonomi Lebih Buruk dari Prediksi

Jumat, 07 Agustus 2020 – 11:44 WIB
Fadli Zon menanggapi kondisi ekonomi Indonesia. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan pemerintah terbukti lamban dan salah resep dalam mengantisipasi terjadinya krisis, baik terkait pandemi Covid-19 maupun eksesnya bagi perekonomian nasional.

Hal ini diungkap Fadli merespons pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagaimana yang diumumkan Badan Pusat Statistik bawa product domestic bruto (PDB) pada Kuartal II (Q2) -5,32 persen.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Ekonomi Jatuh, Astaghfirullah, Kenapa Jokowi Enggak Adil Begini, Demokrat di Hati Rakyat

"Angka ini jauh lebih buruk daripada ekspektasi pemerintah yang sebelumnya memperkirakan hanya akan minus 4,3 hingga 4,8 persen saja, dengan angka batas bawah minus 5,1 persen," kata Fadli kepada wartawan, Jumat (7/8).

Mantan wakil ketua DPR itu menyatakan nyatanya perekonomian Indonesia yang merosot lebih buruk dari itu merupakan peringatan agar waspada terhadap narasi optimistis yang selalu didengungkan pemerintah.

BACA JUGA: Fadli Zon Pinjam Istilah Jokowi Buat Menyentil BUMN

Memang, Fadli menegaskan, di tengah pandemi Covid-19 resesi adalah sesuatu yang tidak terhindarkan, dan semua negara akan mengalaminya.

"Hanya soal waktu saja," tegas ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen itu.

BACA JUGA: Kehadiran KAMI, Fadli Zon : Presiden Seperti Bekerja Sendirian

Namun, kata Fadli, di tengah keniscayaan itu pemerintah seharusnya bisa mengantisipasi agar kerusakan yang paling buruk tidak terjadi. "Dan inilah sepertinya yang gagal diperlihatkan dalam beberapa bulan terakhir," katanya.

Menurutnya, meski di atas kertas yang disebut resesi adalah ketika pertumbuhan ekonomi dilaporkan minus dua kuartal berturut-turut atau lebih, namun secara de facto saat ini sudah berada di tengah resesi.

Dia menyatakan hanya soal waktu saja BPS nanti mengumumkan bahwa Kuartal III 2020 juga ekonomi akan kembali minus.

"Sebab, sepanjang satu semester kemarin, pemerintah sudah gagal menetapkan prioritas pekerjaan," paparnya.

Dia berpendapat sejak awal pemerintah memang gagal menetapkan prioritas. Saat kasus Covid-19 pertama kali dikonfirmasi masuk ke Indonesia awal Maret lalu, dengan alasan ekonomi pemerintah menolak melakukan karantina wilayah.

Padahal, perekonomian mustahil tumbuh jika negara gagal mengatasi pandemi. Ujungnya, per hari ini pemerintah bisa dikatakan tidak berhasil menangani keduanya.

"Kita saat ini menghadapi tekanan besar dari dua jurusan sekaligus, yaitu pandemi dan resesi ekonomi," jelasnya.

Dari sisi pandemi, Fadli mengungkap bahwa data menunjukkan penanggulangan Covid-19 di Indonesia merupakan yang terburuk di Asia.

Kemampuan dalam melakukan tes, misalnya, hanya lebih baik dari Ethiopia dan Nigeria. Sebagai negara dengan jumlah penduduk lebih dari 50 juta, Indonesia sejauh ini baru mampu melakukan 36 tes per satu juta penduduk.

Angka ini hanya lebih baik dari Ethiopia dan Nigeria, yang masing-masing hanya bisa melakukan 28 dan 24 tes per satu juta penduduk.

Bahkan, dalam hal indeks kematian tenaga medis, posisi Indonesia adalah yang terburuk di dunia.

"Jika penanganan Covid-19 masih berlangsung seperti sekarang, maka kita terancam bakal mengalami pandemi berkepanjangan," kata wakil ketua umum Partai Gerindra itu.

Sementara, Fadli mengungkapkan, dari sisi ekonomi, pemerintah juga telah gagal memperkecil kontraksi ekonomi.

Padahal, kata dia, anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) mencapai Rp 695,2 triliun.

Menurut Fadli, lambatnya penyerapan anggaran dan penyaluran bantuan untuk masyarakat ini merupakan biang keladi kenapa tingkat kontraksi ekonomi lebih buruk dari yang diprediksikan.

"Padahal, bantuan untuk masyarakat, terutama dalam bentuk tunai, bisa memberikan dorongan signifikan bagi perekonomian," jelasnya.

Dalam enam bulan terakhir, kata Fadli, kesempatan untuk mendorong perekonomian melalui berbagai stimulus tadi telah disia-siakan.

Tidak usah jauh-jauh bicara anggaran kesehatan yang per minggu ini serapannya baru 7,19 persen dari total anggaran Rp87,55 triliun, atau realisasi program bantuan UMKM yang baru mencapai 25,26 persen dari total anggaran Rp123,47 triliun. "Kita bicara mengenai gaji ketigabelas untuk para pegawai negeri saja," ungkapnya.

Anggaran gaji ketigabelas ini sebenarnya hampir bersifat rutin. Namun, dalam satu semester terakhir anggaran ini dibuat seolah-olah mengambang oleh pemerintah.

"Ada dan tiadanya jadi tak jelas," tegasnya.

Menurut Fadli, kebijakan tarik-ulur semacam ini telah memperburuk kontraksi ekonomi kuartal kemarin. "Jangan lupa, anggaran semacam ini punya efek pengganda ekonomi yang signifikan," paparnya.

Fadli mengatakan anggaran ini seharusnya sudah dicairkan sesudah Idulfitri kemarin di bulan Juni atau paling lambat Juli. Namun, hingga lewat Iduladha, anggaran ini masih juga belum dicairkan. "Kalau saja anggaran ini dicairkan sesuai jadwal, kita mungkin bisa sedikit menahan besaran kontraksi," yakin dia.

Artinya, Fadli berkata, pada kuartal kemarin pemerintah sudah gagal menjalankan fungsinya menahan agar kontraksi ekonomi ini tak terlalu besar.

Dia mengatakan pemerintah justru menjadi kontributor bagi pertumbuhan ekonomi negatif, karena lamban dalam penyerapan anggaran dan penyaluran bantuan. Pertumbuhan belanja pemerintah kemarin minus hingga 6,9 persen. "Padahal di mana-mana presiden gembar-gembor bikin stimulus," kritik Fadli.

Merujuk data BPS kemarin, kontraksi sebesar 5,32 persen memang harus disikapi waspada. Sebab, penurunan sebesar itu merupakan yang pertama terjadi sesudah Kuartal I 1999.

Saat itu, ekonomi Indonesia tercatat -6,13 persen. Menurut BPS, hanya ada tiga sektor yang tumbuh positif pada kuartal kemarin, yaitu pertanian, informasi dan komunikasi, serta pengadaan air. Sektor lainnya mengalami kontraksi.

"Menghadapi ancaman resesi ini, menurut saya pemerintah seharusnya melakukan terobosan. Resep lama sudah terbukti tak bisa menyelamatkan kita dari ancaman resesi," katanya.

Dalam jangka pendek, ada dua hal yang   harus segera diperhatikan pemerintah.

Pertama, anggaran stimulus ekonomi sebaiknya difokuskan pada dua isu, yaitu menumbuhkan daya beli masyarakat dan menciptakan lapangan kerja.

"Dua hal ini akan mendorong ekonomi rakyat terus bergerak," paparnya.

Menurutnya, pemerintah juga harus memperhatikan penyaluran bantuan sebaiknya dilakukan dalam bentuk tunai, bukan dalam bentuk barang.

"Tujuannya adalah agar terjadi transaksi ekonomi di tengah masyarakat, sehingga perekonomian terus bergerak," kata dia.

Kedua, dari sisi sektoral, anggaran stimulus sebaiknya diprioritaskan di sektor pangan dan pertanian. Di tengah pandemi, pangan dan pertanian merupakan isu sektoral yang vital.

"Kita sama-sama bisa melihat, meskipun sektor lainnya mengalami kontraksi, dari data BPS kemarin sektor pertanian justru tumbuh positif 16 persen. Jadi, ini adalah sektor yang punya daya tahan," kata Fadli.

Kontribusi sektor ini bagi PDB memang “kecil”, sekitar 13 persen, dan cenderung terus menurun tiap tahun. Namun, pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. "Sekitar 35 persen angkatan kerja kita diserap sektor ini," ungkap alumnus Studi Pembangunan London School of Economics, Inggris, itu.

Di tengah pandemi, saat isu pengangguran, pemutusan hubungan kerja, dan kemiskinan kian mengancam, sektor-sektor yang bisa menyerap angkatan kerja seharusnya makin diperhatikan pemerintah.

"Sektor pertanian bisa jadi pendorong di saat krisis," tegasnya. Apalagi, kata dia, sektor pertanian yang kukuh merupakan prasyarat penting bagi industrialisasi. "Industrialisasi di Eropa, Jepang, atau Korea Selatan, misalnya, bisa terjadi karena ditopang oleh sektor pertanian yang kuat," ungkapnya.

Sekali lagi, Fadli menegaskan, pemerintah seharusnya tak lagi bermimpi akan mencapai hasil berbeda melalui resep yang sama.

"Sekarang saatnya ganti resep dan ganti koki khususnya di bidang ekonomi dan kesehatan," kata Fadli.

Dia menegaskan bila koki di dapur kabinet tak bisa membuat resep lain, tentu hasilnya tak akan sesuai harapan. "Jangan sampai kemarahan presiden berkali-kali jadi sia-sia, dan rakyat yang menjadi korban," pungkas Fadli. (boy/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler