Fadli Zon Tagih Janji Bersih-bersih Menteri BUMN

Rabu, 15 Juli 2020 – 10:39 WIB
Politikus Fadli Zon. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon menagih janji Menteri BUMN Erick Thohir yang akan melakukan bersih-bersih di kementerian yang dipimpinnya.

Menurut Fadli, saat dilantik menjadi menteri BUMN tahun lalu, Erick berjanji akan melakukan bersih-bersih di kementeriannya. Erick akan bekerja keras memulihkan nama baik BUMN. Ketika Desember 2019 Erick memberhentikan seluruh direksi PT Garuda Indonesia, banyak orang memuji sebagai bentuk tindakan bersih-bersih.

BACA JUGA: Erick Thohir Rombak Jajaran Direksi Perum Perindo

"Pujian itu ternyata terlalu dini diberikan. Sebab, memecat direksi yang tertangkap basah melakukan tindak pidana sebenarnya bukanlah sebuah keputusan istimewa. Ada orang terbukti melanggar hukum lalu ditindak, apa istimewanya?" kata Fadli Zon, Rabu (15/7).

Fadli menuturkan kalau membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah “bersih-bersih” sebenarnya tidak akan ditemukan. Namun, jika dilihat dari penggunaannya, istilah bersih-bersih sebenarnya lebih cenderung bersifat preventif ketimbang kuratif. Artinya, bersih-bersih adalah sebuah tindakan terencana, bukan spontan, untuk mencegah agar hal-hal buruk tak terjadi.

BACA JUGA: Ssttt... Erick Thohir Datangi KPK, Masuk Lewat Pintu Belakang

"Merujuk pada pengertian tersebut, sesudah satu semester lewat, saya melihat komitmen menteri BUMN untuk melakukan tindakan bersih-bersih ternyata sangat lemah, bahkan cenderung mengarah pada hal sebaliknya," ujar Fadli.

Ia mengungkap ada beberapa alasan. Pertama, menteri BUMN membuat preseden buruk dengan mengangkat tokoh partai politik sebagai komisaris BUMN. Seburuk-buruknya pengelolaan BUMN di masa lalu, keputusan ini belum pernah terjadi sebelumnya.

BACA JUGA: Polisi Beber Salah Satu Penghambat Penyidikan Kasus Pembunuhan Editor Metro TV

Pengangkatan tokoh parpol sebagai komisaris perusahaan negara jelas bertentangan dengan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, terutama Pasal 33 Huruf b juncto Pasal 45 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2005 yang melarang anggota komisaris BUMN merangkap jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan. Penunjukkan itu, kata dia lagi, juga melanggar Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-02/Mbu/02/2015 yang menyatakan komisaris BUMN bukanlah pengurus partai politik.

Namun, sejak dilantik jadi menteri pada Oktober 2019, hingga saat ini Menteri Erick Thohir setidaknya telah mengangkat sembilan tokoh parpol sebagai komisaris BUMN, mulai dari Pertamina, Bank Mandiri, BRI, Pelindo I, Hutama Karya, Telkom, hingga PLN.

"Ada sejumlah parpol yang sejauh ini mendapat jatah kursi komisaris BUMN. Ini adalah preseden buruk dalam pengelolaan BUMN," katanya.

Kedua, ujar Fadli, menteri BUMN juga telah mengabaikan asas kompetensi dan prinsip pembagian kekuasaan dengan memasukkan unsur-unsur aktif TNI, Polri, Badan Intelijen Negara, Kejaksaan, Kehakiman, serta BPK sebagai komisaris BUMN. Penunjukkan semacam ini, kata Fadli, telah mengacaukan sistem.

"Baik sistem meritokrasi di dalam perusahaan negara, maupun mengacaukan sistem tata negara modern yang seharusnya disiplin dengan pembagian kekuasaan," jelasnya.

Menurut data Ombudsman, saat ini ada 27 komisaris BUMN yang berasal dari TNI aktif, 13 dari Polri, 12 dari Kejaksaan, 10 dari BIN, dan 6 dari BPK.

"Apa relevansinya tentara, polisi, jaksa, dan hakim yang masih aktif berdinas dijadikan komisaris BUMN?" ungkapnya.

Lagi pula, Fadli menegaskan, penunjukan semacam itu juga melanggar UU. Dia menjelaskan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 47 Ayat 1 dengan jelas yang menyatakan bahwa tentara hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

Sementara, menurut temuan Ombudsman, mayoritas TNI yang menjabat komisaris BUMN status kedinasannya masih aktif. Hal serupa juga berlaku bagi anggota polisi, sebagaimana diatur oleh UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

"Menariknya, hampir semua aparat penegak hukum tadi dijadikan komisaris di perusahaan-perusahaan migas dan tambang, seperti Pertamina, Bukit Asam, atau Aneka Tambang," jelas dia.

Ketiga, terjadinya rangkap jabatan komisaris BUMN secara masif dan kolosal. Akhir bulan lalu Ombudsman merilis temuan soal 397 kasus rangkap jabatan yang terjadi di kursi komisaris BUMN, serta 167 kasus rangkap jabatan yang terjadi di anak perusahaan BUMN. "Angka itu jelas masif dan kolosal," tegasnya.

Fadli menuturkan dari angka tersebut, menurut Ombudsman, 254 di antaranya merangkap jabatan di kementerian, 112 di lembaga non-kementerian, dan 31 sebagai akademisi. Menurut catatan Ombudsman, ada lima kementerian yang pegawainya mendominasi rangkap jabatan komisaris BUMN, yaitu Kementerian BUMN (55), Kementerian Keuangan (42), Kementerian Pekerjaan Umum/Perumahan Rakyat (17), Kementerian Perhubungan (17), Kementerian Sekretariat Negara (16), dan Kementerian Koordinator (13).

"Menanggapi temuan Ombudsman tersebut, saya baca Menteri BUMN hanya berkilah semua itu sudah lama terjadi. Pernyataan semacam itu tentu saja sangat mengecewakan. Apalagi bagi orang yang pernah berjanji hendak melakukan bersih-bersih BUMN," papar Fadli.

Wakil ketua umum Partai Gerindra itu menuturkan Menteri Erick seharusnya mengetahui jika rangkap jabatan semacam itu melanggar banyak sekali prinsip manajemen dan etika perusahaan. Mulai dari soal konflik kepentingan, penghasilan ganda, masalah kompetensi, jual beli pengaruh, transparansi, serta akuntabilitas.

"Selain itu, rangkap jabatan semacam itu juga melanggar banyak sekali undang-undang dan peraturan yang berlaku," katanya.

Menurut Fadli, setidaknya ada tujuh UU serta 2 PP yang telah ditabrak oleh menteri BUMN.

Pertama, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, terutama Pasal 33 Huruf b yang melarang anggota komisaris BUMN merangkap jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.

Kedua, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, terutama Pasal 17 yang melarang pelaksana pelayanan publik merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha. Larangan ini berlaku bagi pelaksana pelayanan publik yang berasal dari instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD.

Ketiga, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), terutama Pasal 5 Ayat 2 huruf h yang dengan jelas menyatakan ASN wajib menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya.

Keempat, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terutama Pasal 42 dan 43, di mana para pejabat yang terlibat dalam konflik kepentingan dilarang terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Kelima UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, terutama Pasal 5 Poin 6 tentang larangan rangkap penghasilan. "Adanya gaji double berpotensi melanggar UU ini," tegas mantan wakil ketua DPR ini.

Keenam, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI terutama Pasal 47 Ayat 1 yang melarang tentara aktif menduduki jabatan-jabatan sipil.

Ketujuh, UU Nomor 2 Tahun2002 tentang Polri terutama Pasal 28 Ayat 3 yang menegaskan anggota kepolisian hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinasnya.

Kedelapan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN, terutama Pasal 54 yang melarang terjadinya rangkap jabatan.

Kesembilan, PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, terutama Pasal 48 Ayat 1 yang mengatur bahwa komisaris atau dewan pengawas dilarang memangku jabatan lebih dari dua, baik di BUMN maupun di BUMD.

Jadi, dengan banyaknya peraturan yang telah diterabas tadi, Fadli sangsi menteri BUMN saat ini sedang berusaha membersihkan dan mengembalikan nama baik BUMN.

"Kalau menteri BUMN mengatakan “akhlak” merupakan faktor vital dalam pengelolaan perusahaan negara, maka kita sebenarnya mempertanyakan di mana posisi “akhlak” dalam penyelesaian kasus rangkap jabatan serta pengangkatan para komisaris yang menabrak berbagai peraturan tadi?" katanya.

Dia mengingatkan BUMN adalah amanat konstitusi sebagai campur tangan negara dalam ekonomi yang terkait hajat hidup orang banyak. BUMN yang seharusnya memberi keuntungan dan berkontribusi pada APBN, ironisnya justru banyak rugi dan berutang.

"Kita pun masih melihat BUMN jadi wadah penampungan tim sukses, bahkan di masa tertentu menjadi sapi perah kepentingan bisnis atau politik," kata ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen itu. (boy/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler