jpnn.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertimbangkan mengeluarkan Peratuan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Hal ini terkait banyaknya pasal-pasal yang dianggap kontroversial dalam UU MD3 yang sudah disahkan dalam rapat paripurna DPR tersebut.
BACA JUGA: Zaman Pak Harto Saja tak Pernah Larang Mahasiswi Bercadar
Merespons persoalan ini, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan seharusnya Jokowi mengajak para partai pendukungnya untuk membicarakan soal UU MD3 tersebut. Sebab, ujar Fahri, hampir semua partai pendukung Jokowi menyetujuinya perubahan UU MD3 tersebut.
Dia menambahkan, setelah mendapatkan masukan dari partai pendukung, barulah Jokowi meminta penjelasan resmi dari pimpinan DPR.
BACA JUGA: UIN Larang Mahasiswi Bercadar, Fahri Marah ke Pemerintah
Menurut Fahri, pimpinan DPR siap memberikan penjelasan kepada presiden. “Cuma presiden tidak mau dengar dari DPR. Cuma mau dengar dari LSM, ya sudah kelola saja negara ini dengan LSM,” kata Fahri di gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/3).
Dia mengatakan, pimpinan parlemen sudah dua kali mengirim surat kepada presiden untuk rapat konsultasi.
BACA JUGA: Fahri Hamzah Mengaku Diperlakukan seperti Alien oleh PKS
Hanya saja, ujar Fahri, presiden tidak mau rapat konsultasi dengan pimpinan DPR. “Jadi, dia mau mengelola negara ini pakai LSM, ya silakan saja,” ungkap Fahri.
Dia menegaskan tidak ada unsur kegentingan memaksa sehingga presiden harus mengeluarkan UU MD3. Dia pun heran apa masalahnya sehingga presiden mempertimbangkan mengeluarkan Perppu.
Fahri justru curiga, presiden dihasut oleh orang-orang yang berada di luar sistem. “Ya tidak apa-apa, dari dulu juga begitu, kan,” katanya.
Coba lihat, kata dia, dulu daftar nama calon anggota menteri kabinet dicoret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada yang spidol merah, kuning, dan disebut-sebut akan masuk penjara.
“Coba bayangkan orang dicoret, begitu loh. Uji kepatutan dan kelayakan Pak Budi Gunawan diserang LSM, batal. Sekarang Pak Budi Gunawan jadi Kepala BIN diam saja,” ungkapnya.
Dia khawatir kerja presiden bisa merusak sistem karena tidak mau mengikuti mekanisme politik. Menurut dia, kalau presiden bekerja mengikuti mekanisme politik, tentu akan berbicara dengan partai pendukungnya. Apalagi partai politik pendukung Jokowi juga ada di parlemen.
“Kalau mau dengar informasi resmi, ya dengar dong pimpinan DPR. Kok ini dengar LSM, bagaimana sih presiden?” katanya.
Menurut dia, presiden tidak bisa hanya mendengar dari LSM saja. Sebab, yang dipilih menjadi pejabat resmi adalah anggota DPR, bukan LSM.
Karena itu, seharusnya presiden mendengarkan penjelasan resmi dari DPR. “Kan begitu cara kerja. Kok kerja mendengarkan LSM terus berubah, bagaimana sih?” ujarnya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini curiga, presiden terhasut dengan anggapan bahwa dengan adanya pasal-pasal tertentu di UU MD3 itu DPR bisa membungkam rakyat.
“Membungkam dari mana? Caranya bagaimana? Nah itu mungkin presiden itu tidak tahu. Mungkin presiden tidak tahu yang namanya Mahkamah Kehormatan Dewan, apa makna dari peradilan etika,” katanya.
Karena itu, Fahri menyarankan presiden sebaiknya memperbaiki manajemen politik dan jalur komunikasinya. “Daripada beliau berbuat salah, itu berbahaya buat beliau,” pungkas Fahri.
Sebelumnya diberitakan Jokowi mempertimbangkan mengeluarkan Perppu MD3. Sampai saat ini, Jokowi belum menandatangani UU MD3 yang sudah disahkan parlemen tersebut.
"Saya sudah perintahkan untuk mengkaji apakah tandatangan atau tidak tandatangan, ataukah dengan Perppu," kata Jokowi di sela kunjungan kerjanya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (6/3). Presiden tidak mau teken UU MD3 karena kaget mendengar pasal-pasal yang ada. Antara lain soal hak imunitas DPR, dan kewenangan parlemen memanggil paksa dengan bantuan kepolisian. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Fahri Hamzah Merasa Kasihan pada Jokowi
Redaktur & Reporter : Boy