Fahri Hamzah: Susah Kalau Presiden Tak Dianggap Menterinya

Rabu, 20 Mei 2015 – 17:41 WIB
Fahri Hamzah. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah tak bisa menahan emosi ketika disinggung soal revisi undang-undang pemilihan kepala daerah (UU Pilkada) yang telah dikonsultasikan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Senin (18/5) lalu.

Presiden memang belum memberi kata setuju untuk revisi tersebut. Namun dari jawaban Fahri mengisyaratkan, Jokowi secara halus menolak revisi dengan mengatakan Menteri Hukum dan HAM tidak akan banding terhadap apapun putusan Pengadilan Tata usaha Negara (PTUN) untuk parpol bersengketa. 

BACA JUGA: Kader Golkar Daerah Ingin Ical dan Agung Segera Bertemu demi Pilkada

Dengan tidak banding maka putusan tersebut inkrah, sebagaimana syarat dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang pencalonan bagi parpol bersengketa adalah yang sudah islah atau mendapat putusan inkrah pengadilan. Artinya, secara otomatis tidak diperlukan lagi revisi UU Pilkada. 

Namun, kondisinya berbeda karena Menkum HAM memutuskan banding. Inilah yang menurut Fahri bertentangan dengan pernyataan Jokowi saat rapat konsultasi.

BACA JUGA: Ical Menang di PTUN, Golkar Purwakarta Syukuran

"Pak Jokowi sudah janji. Katanya Pak Laoly tidak banding. Ternyata banding. Ini masalahnya apa. Ya sudahlah. Susah kalau presiden tidak dianggap menterinya," kata Fahri, secara tak langsung membuka sebagian hasil konsultasi dengan presiden, saat ditemui di gedung DPR Jakarta, Rabu (20/5).

Fahri tidak yakin apakah Presiden Jokowi hanya bersilat lidah dalam rapat konsultasi tersebut. Di sisi lain Menkum HAM tetap banding meski presiden sudah menjanjikan tidak ada banding agar kubu Aburizal Bakrie (Ical) dan Agung Laksono bisa didorong untuk islah jelang Pilkada.

BACA JUGA: Jokowi Belum Oke, DPR Tetap Ngotot Revisi UU Pilkada

"Masa sih presiden mau bersilat lidah dengan DPR. Karena motif beliau. Saya katakan Pak Presiden jangan banding dong. Supaya dorong islah. Tetapi Menkum HAM maunya banding. Dia maunya apa sih. Kalau pengadilan bilang sudah cukup ya islah dong. Karena menkumham tengil nih sehingga tidak selesai," ujarnya.

Dalam posisi sekarang, Fahri menilai UU Pilkada mau tidak mau harus direvisi supaya KPU memiliki payung hukum sebagai jalan keluar bagi parpol bersengketa sebagaimana rekomendasi Panja Pilkada komisi II DPR. Karena Panja mengusulkan PKPU harus mengatur penggunaan putusan pengadilan terakhir sebagai dasar parpol bersengketa ikut pilkada, bila memang islah dan inkrah tidak tercapai sebelum pendaftaran calon.

"Iya (harus direvisi). Ini permintaan KPU. Karena butuh payung hukum. Jalan keluarnya Undang-undang. Kita bisa bahas 1-2 minggu. Karena kita mau fix kekuatan (payung hukum buat KPU) itu," tandas Fahri. (fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Penyebab Proses Rekrutmen PPK dan PPS Masih Bermasalah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler