Fahri: Presiden Berhak Ganti 3 Pimpinan KPK yang Serampangan

Minggu, 15 September 2019 – 11:29 WIB
Joko Widodo. Foto: M. Fathra Nazrul Islam/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid menilai sikap tiga pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang menyerahkan mandat operasional lembaga kepada Presiden Joko Widodo, melanggar hukum tata negara dan konstitusi.

Fahri mengatakan, upaya itu bisa dianggap sebagai pengunduran diri dan presiden berhak untuk segera mengganti dengan pimpinan yang baru.

BACA JUGA: Tidak Mungkin Presiden Jokowi Jalankan Tugas Pimpinan KPK

Dia mengatakan tindakan tiga pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang serampangan dan melanggar Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK itu sendiri. "Tidak ada nomenklatur penyerahan mandat KPK kepada presiden berdasarkan hukum tata negara,” ujar Fahri saat dikonfirmasi, Minggu (15/9).

Alumni Program Doktor Hukum Tata Negara kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) ini juga menganggap penyerahan operasional itu sebagai bentuk pengunduran diri. Dia menjelaskan, dalam UU KPK menyebutkan pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena meninggal dunia, berakhir masa jabatannya, menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan, berhalangan tetap atau secara terus menerus selama lebih dari tiga bulan, mengundurkan diri, atau dikenai sanksi berdasarkan UU KPK.

BACA JUGA: Pakar Hukum Nilai Pimpinan KPK Manja dan Kekanak-kanakan

Sementara di sisi lain, Fahri menambahkan bahwa presiden tidak dalam kedudukan maupun kapasitas menerima tanggung jawab dan pengelolaan institusi KPK sebagai 'state auxiliary agencies', terkecuali tiga pimpinan KPK tersebut secara eksplisit dan resmi menyatakan mengundurkan diri sesuai dengan kaidah ketentuan Pasal 32 ayat (1) poin e UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

”Ini adalah suatu praktik yang tidak lazim dan cenderung deviasi dari prinsip hukum. Apalagi di satu sisi telah menyerahkan mandat kepada presiden, tetapi di sisi yang lain berharap menunggu arahan presiden untuk menjalankan atau tidak menjalankan tugas-tugas kelembagaan KPK sampai Desember 2019,” tambah Fahri.

Dia menerangkan, pimpinan KPK dalam aturannya bekerja secara kolektif. Kemudian pemimpin merupakan penanggung jawab KPK. Dengan demikian, kata Fahri, untuk menjaga keberlangsungan dan kesinambungan kerja-kerja KPK sesuai tujuan dibentuknya KPK sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, presiden berhak mengambil langkah-langkah sesuai mandat hukum yang ada.

"Yaitu mengambil langkah untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK saat ini dengan mengangkat anggota sementara pimpinan KPK sampai dengan berahirnya periode pimpinan yang lama yaitu sampai pada Desember 2019 yang akan datang,” tukas Fahri.

Dia juga mengingatkan presiden agar semua proses projusticia di KPK berjalan dengan normal. Fahri menyarankan presiden mengunakan kewenangan konstitusionalnya berdasarkan UU RI Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 tahun 2015 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi undang-undang.

Fahri menjelaskan, presiden bisa mengangkat anggota sementara pimpinan KPK untuk mengisi sejumlah jabatan yang kosong. ”Dengan demikian maka presiden bisa mengisi kekosongan pimpinan KPK yang kurang dari tiga orang tersebut dan secara kelembagaan KPK tetap berjalan menyelesaikan tugas dan wewenangnya sampai dengan dilantiknya pimpinan KPK yang baru pada Desember nantinya,” pungkas Fahri. (tan/jpnn)


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler