Fahri: Yang Puas Kinerja Jokowi di Bawah 50 Persen

Minggu, 08 April 2018 – 18:19 WIB
Mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan, sistem kepemimpinan yang paling rumit adalah demokrasi.

Beda dengan sistem otoriter, yang sangat kokoh karena dasarnya tidak bisa didebat.

BACA JUGA: Pak Luhut Beber Riset Golkar soal Presiden Jokowi dan PDIP

“Otoritarianisme misalnya raja, yang sumber powernya adalah darah (dalam defenisi macam-macam), sehingga sangat kuat. Tapi dalam demokrasi itu, suara rakyat dan ini paling goyang,” kata Fahri berbicara dalam acara Netizen #NgopiBarengFahri di bilangan Duren Sawit, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Suara rakyat itu, lanjut Fahri, sama dengan kurs mata uang, atau seperti harga saham di capital market yang follow tail (mengikuti) sifatnya.

BACA JUGA: Takut Diprotes, Jokowi Lakukan Ini Sebelum Kendarai Chopper

Dalam artian, suara rakyat itu sifatnya tidak bisa diprediksi karena bisa berubah-ubah suatu saat. Hal itu bisa berlaku untuk Jokowi.

“Pagi Anda menang di pemilu, besoknya akseptabilitas atau kepuasan publik, itu bisa-bisa sudah turun dari anda kepilihnya berapa. Pak Jokowi sekarang, kepuasan publiknya ada di bawah 50, padahal waktu terpilih dia di atas 50. Follow tail suaranya. Kenapa? Karena sumbernya adalah persetujuan rakyat melalui kotak suara,” ujarnya.

BACA JUGA: Awalnya Jokowi Kalem, Bercanda, Lantas Nada Tinggi

Karena ini follow time, maka menurut politikus dari PKS itu, diperlukan pemimpin yang luas pemahamannya, pengertian dan kapasitasnya untuk menjalankan sistem ini agar lebih efektif.

Lantas, Fahri mengambil contoh bahwa demokrasi itu ibarat snartphone (handphone pintar) yang memiliki banyak fitur dan sangat kompleks.

“Nah, problem kepemimpinan kita sekarang ini sama seperti smartphone, tapi sayangnya kapasitas pemimpinnya seperti handphone jadoel. Itu aja cara berfikirnya. Jadi fitur yang dimengerti oleh Jokowi dan kawan-kawannya itu adalah jadoel, karena instrumen-instruennya tidak dipakai. Sementara kita semua ini sudah mengertinya smartphone,” tambahnya lagi.

Satu fitur penting yang tidak dipakai oleh Jokowi yakni pemanfaatan mimbar istana.

Harusnya sebagai presiden, Jokowi memanfaatkan fitur itu untuk berbicara setiap hari kepada bangsa Indonesia, terkait pemasalahan yang dialami negaranya.

“Fitur itu harus dipakai. Karena setiap pagi rakyat itu menunggu apa yang akan dilakukan seorang presiden dan mau dibawa kemana bangsa ini. Tapi tidak dipakai, makanya pemerintah setiap hari seperti orang panik, tidak mengerti harus melakukan apa, sehingga masalah yang lama berulang-ulang,” imbuh Fahri.

Misalnya, fenomena masuknya berton-ton narkoba ke Indonesia, tapi Jokowi sebagai presiden itu tidak ada sense of crisis, tidak memberikan warning kepada pengirim. Bahkan ada hukum mati pun ditunda-tunda.

“Cara berpikir kompleks ini tidak ada dalam kepemimpinan saat ini, dan tim-tim nya juga tidak terlihat memberikan masukan yang benar kepada presiden atau mungkin dikasih masukan nggak masuk-masuk,” sindir Fahri.

Bahkan, menurut anggota DPR dari daerah NTB itu, banyak lagi yang lainnya mengingat demokrasi adalah sistem yang kompleks, di mana di dalamnya ada masyarakat sipil, sosmed, kafe, kelas menengah, masket, kapital market, free sociaty dan seterusnya.

“Itu demokrasi. Tapi kalau otoriterianisme nggak. Pemimpinannya dia, nggak boleh diganggu, dikritik. Apa kata dia, ikuti saja. Itu jadoel. Nah pemimpin kita sekarang, jadoel. Sementara jaman demokrasi ini sudah smartphone,” pungkas Fahri. (adv/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Beberkan Fakta, Ini Untuk Sindir Amien Rais?


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler