Faktor Ideologis Penyebab Terbesar Politikus Pindah Partai

Kamis, 19 Juli 2018 – 15:51 WIB
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggelar workshop kaderisasi partai di kantor pusat DPP PDI Perjuangan Jalan Diponegoro, Jakarta, Senin (9/7). Foto : Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali mengatakan ada empat faktor yang menyebabkan politisi pindah partai jelang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019-2024.

Pertama, tidak begitu kuatnya ikatan ideologis antara kader dengan partai tempatnya bernaung. Amali mengatakan, kalau ikatan kuat maka apa pun kondisi partainya, kader tetap akan bertahan dengan keyakinan ideologi yang ada di partai tersebut.

BACA JUGA: Golkar Kesulitan Coret Dua Caleg Mantan Napi Koruptor

“Saya terus bertahan di partai saya karena ada ideologi sama yang kami yakini dengan partai yang kami tempati. Kalau longgar kapan saya bisa berpindah,” kata Amali di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (19/7).

Kedua, lanjut Amali, adanya konflik di partai. Konflik itu bisa terjadi antara kader dan pengurus, maupun sesama kader di partai tersebut. Ini juga terjadi pada Golkar pada akhir 2014 hingga 2015 dan konflik berakhir pada 2016. 

BACA JUGA: Transfer Caleg Jelang Final Piala Dunia

Itu berimbas banyaknya kader potensial meninggalkan Partai Golkar dan mencalonkan diri lewat partai lain pada saat Pilkada Serentak 2015 "Konflik individu pengurus, sesama kader jadi penyebab politisi pindah partai,” ungkap Amali.

Ketiga, masalah keberlangsungan partai. Dengan aturan parliamentary threshold (PT) 4 persen, orang akan mempertimbangkan apakah partainya bisa lolos atau tidak. “Ini juga jadi pertimbangan dari yang berpindah, partai yang diwakili harus lolos threshold. Kalau tidak mencapai, maka dia tidak akan bisa bertahan,” katanya.

BACA JUGA: Kalah Pilkada Kota Bekasi, PKS-Gerindra Fokus Pemilu 2019

Keempat, lanjutnya, sistem proporsional terbuka. Dengan sistem ini maka kompetisi antara caleg satu partai maupun dengan partai lain semakin terbuka. “Kalau ada partai yang kira-kira bisa menyiapkan atribut, bendera, kaus, itu jadi pilihan orang. Tidak salah orang akan memilih itu. Tapi itu jadi variabel terakhir,” katanya.

Dari sejumlah variabel itu yang paling penting adalah persoalan ideologis tegas Amali. Kalau ikatan kuat maka faktor yang lainnya tidak akan berpengaruh apa pun.

Lebih lanjut Amali menuturkan, siapa pun yang pindah harus mengundurkan diri begitu sudah memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) partai barunya. Nah, partai lama kemudian akan mengirimkan pengganti jika yang pindah itu merupakan anggota parlemen. “Tapi ada masa sampai dengan diumumkannya daftar caleg. Bisa saja dia tidak jadi caleg. Namun, ini masih jadi perdebatan, karena saat daftar sudah ber-KTA harusnya sudah berhenti,” paparnya.

Hal tersebut tentu memiliki konsekuensi terhadap kinerja DPR. Sebab, ketika ada anggota yang mundur karena pindah partai, maka akan terjadi kekosongan beberapa lama di parlemen. Dia mencontohkan hal ini sama ketika ada anggota yang kena kasus hukum. Tidak serta merta bisa diganti secepatnya.

“Jadi, harus ada tahapan, tidak bisa hari ini kena besok langsung diganti. Ini akan berpengaruh pada kinerja khususnya kepada fraksi apalagi yang punya jumlah keanggotaan terbatas. Tapi untuk keseluruhan (DPR) tidak signifikan,” pungkas Amali. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Mungkin PDIP Ujug-ujug Tarik Kapitra Tanpa Komunikasi


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler