"Dimakamkan di TPU Pondok Rangon," kata sumber dari kalangan ikhwan jihadi (mantan mujahidin ) pada Jawa Pos kemarin. Pemakaman itu tertutup dan hanya diikuti sekelompok orang. "Awalnya direncanakan di Pamulang namun kemudian dipindahkan ke TPU Pondok Rangon," katanya.
Jawa Pos berusaha meminta foto pemakaman sebagai bukti, namun sumber ini menolak. "Keluarga tidak berkenan," katanya. Satu jenazah yang dimakamkan itu adalah jasad atas nama Farhan yang juga merupakan anak tiri dari terpidana kasus terorisme Abu Umar .
Asisten pribadi ustad Abu Bakar Baasyir Hasyim Abdullah yang dekat dengan kalangan ikhwan jihadi mengaku mendengar kabar pemakaman itu. "Namun, saya tidak datang langsung ke pemakaman," kata Hasyim pada Jawa Pos semalam.
Hasyim menjelaskan dari informasi yang dia terima, awalnya pemakaman akan dilakukan Senin ini (03/09). "Namun tiba-tiba dipercepat, saya juga belum tahu alasannya," katanya.
Jawa Pos berusaha mendapatkan konfirmasi dari petugas piket Koramil Cipayung, tempat TPU Pondok Rangon berada, Kopka Joko Purwadi. Menurut Joko, memang ada serombongan orang yang mengadakan pemakaman di TPU Pondok Rangon sore kemarin. "Namun saya tidak tahu apakah itu jenazah teroris atau bukan, rombongannya tertutup pakai mobil langsung pergi," ujarnya saat dikontak melalui telepon.
Info pemakaman yang diam diam ini tidak lazim. Biasanya, polisi akan terlebih dulu menggelar jumpa pers secara terbuka untuk menjelaskan siapa identitas dua orang yang mereka tembak. Penjelasan itu biasanya disertai dengan pemaparan ciri fisik, dna, dan bukti foto jenazah. Baru, setelah itu dimakamkan.
Ketua Tim Disaster Victim Identification Polri Kombes Pol Anton Charliyan saat dikonfirmasi Jawa Pos tadi malam membantah kabar pemakaman itu. "Jenazah masih berada di RS Polri , kami masih menunggu data antemortem atau data sebelum kematian dari keluarga," kata Anton.
Menurut Anton, seluruh proses otopsi sebenarnya sudah selesai. "Tapi identifikasinya belum karena baru data post mortem," kata Anton yang juga pemimpin tim identifikasi jasad korban Sukhoi 100 yang jatuh di Gunung Salak beberapa waktu lalu itu.
Simpang siur informasi pemakaman yang terkesan diam-diam itu semakin menambah kejanggalan kasus ini. Penulis buku Jangan Bosan Kritik Polri sekaligus Ketua Indonesian Police Watch menilai banyak kejanggalan yang harus dijelaskan oleh polisi secara terbuka.
Neta memaparkan kejanggalan pertama mengenai pistol yang disita dari terduga teroris yaitu jenis Bareta dengan tulisan Property Philipines National Police. Padahal Kapolresta Solo, Kombes Asdjima"in mengatakan jika senjata yang digunakan untuk menembak polisi di Pospam Lebaran yaitu jenis FN kaliber 99 milimeter.
Ia pun mempertanyakan apakah orang yang ditembak polisi yang diduga teroris itu merupakan orang yang sama dengan pelaku yang menembak polisi di Pospam Lebaran. Ia juga mempertanyakan apakah kemungkinan ada pihak lain sebagai pelakunya.
Kejanggalan kedua yaitu Bripda Suherman, anggota Densus 88 yang tewas tertembak di bagian perut. Menurutnya hal ini menunjukkan Bripda Suherman tidak sesuai dengan SOP dalam bertugas yaitu harus memakai rompi anti peluru. "Pertanyaannya apakah benar pada malam itu ada operasi Densus 88" Jika benar, kenapa ada anggota Densus 88 bisa teledor dan bertugas tidak sesuai dengan SOP,"katanya.
Kejanggalan selanjutnya, beberapa jam setelah penyergapan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintahkan Kapolri, Jenderal Timur Pradopo untuk segera meninjau Tempat Kejadian Perkara (TKP). Padahal dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya, ia melanjutkan, hal ini tidak pernah terjadi.
Bahkan pada saat tiga kali penyerangan terhadap Pospam Lebaran, juga tidak ada perintah seperti itu. "Apakah SBY ingin membangun citra dan menarik simpati publik dari peristiwa Solo yang sempat memojokkan Jokowi (Wali Kota Solo) ini,"katanya.
Terpisah, Musthofa Nahrawardaya dari Indonesan Crime Analyst Forum menjelaskan tim Densus 88 mengumumkan meneumkan surat wasiat di baju Farhan. "Saya dapat informasi itu, mungkin akan segera diumumkan secara resmi, ini aneh,"katanya.
Sebab, surat itu tak pernah disebut dalam jumpa pers resmi Kapolri sehari setelah penangkapan. "Sama sekali tidak disebut, tiba-tiba nanti ada surat wasiat yang isinya menjadi pembenar bahwa Farhan lah pelakunya," katanya.
Surat itu ditulis dengan bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Intinya, surat itu menjelaskan mengapa Farhan mendendam pada polisi. Sebelumnya, Sabtu (01/09) sumber Jawa Pos di loingkungan anti teror menjelaskan Farhan dendam karena ayahnya ditangkap polisi.
Musthofa yang juga pengurus PP Muhammadiyah itu juga menyeslakn tindakan Densus 88 yang brutal saat menangkap Bayu. Korbannya, kakek kakek berusia 67 tahun Wiji Siswo. "Sampai giginya rontok dan mukanya hancur,ini kakek kakek lho," katanya.
Seharusnya, Densus 88 segera meminta maaf secara terbuka. "Jika tidak, maka rasa benci tidak hanya dirasakan oleh korban, bahkan akan dirasakan pula oleh anak cucunya," katanya.
Secara terpisah, Mabes Polri membantah analisa kejanggalan-kejanggalan itu. Kadiv Humas Polri Irjen (Pol) Anang Iskandar menjelaskan penangkapan dua terduga teroris di Jalan Veteran, Solo, merupakan upaya penyergapan, bukan operasi biasa. "Tapi memang ada kegiatan khusus yang dilakukan oleh polisi dari tingkat Polres hingga Mabes Polri untuk mencari tersangka yang melakukan penembakan di pos polisi,"ujarnya.
Anang menegaskan pihaknya memiliki standar operasi saat bertugas. "Memang terjadi baku tembak dengan Densus. Soal kelengkapan, pasti sesuai dengan standar yang mereka miliki saat bertugas,"katanya.
Anang juga membantah jika Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo meninjau lokasi baku tembak sehari setelah penyergapan untuk menggalang pencitraan."Begitu ada anak buah gugur ketika melaksanakan tugas, siapapun pemimpinnya, pasti memberikan penghormatan, pasti pemimpin datang melihat anak buahnya,"katanya. Soal surat wasiat, Anang mengaku belum mendapatkan informasi dari penyidik di lapangan.(rdl)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Siapkan Bantuan Rumah Bagi Korban Bencana di Palu
Redaktur : Tim Redaksi