jpnn.com - SURABAYA – Kinerja industri tekstil domestik terimbas kelesuan perdagangan global.
Pasar dalam negeri juga memperoleh tekanan besar dari maraknya impor pakaian jadi.
BACA JUGA: Istimewa, CASA BTN Tembus Rp 66 Triliun
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk pakaian bukan rajutan pada Januari–Oktober tahun ini mencapai USD 3,196 miliar.
Jumlah tersebut menurun 2,88 persen jika dibandingkan dengan Januari–Oktober 2015.
BACA JUGA: XL Alokasikan Belanja Modal Rp 7 Triliun
Penurunan kinerja ekspor itu dipicu melemahnya pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa 8–9 persen.
’’Permintaan masih rendah. Ada kekacauan di negara-negara Timur Tengah. Jadi, mereka akan lebih menggunakan dana untuk mengungsi daripada membeli pakaian,” tutur Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat.
BACA JUGA: Prediksi Pergerakan IHSG Pekan Ini
Saat ini, pasar ekspor produk tekstil Indonesia ditopang AS 36 persen, Eropa 13 persen, dan sisanya Asia-Afrika.
Selain melemahnya pasar, membanjirnya impor pakaian menekan industri produk tekstil.
Untung, pemerintah sudah menerapkan kebijakan anti-dumping di sektor hulu.
’’Pemerintah harus giat memberantas impor tekstil ilegal. Barang impor perlu diawasi. Kadang ada praktik curang dengan memasukkan impor ilegal,” ujar Ade.
Berdasar data BPS, produksi industri tekstil dan pakaian jadi di Indonesia cenderung menurun.
Pada semester pertama tahun ini, industri tekstil anjlok 4,22 persen (month-to-month).
Sementara itu, pada Juli, turun 1,25 persen. Ada kenaikan 0,18 persen pada Agustus.
Pada September, kembali terjadi penurunan 1,88 persen. Kondisi produksi pakaian jadi hampir sama.
Yakni, naik tipis 1,52 persen hingga semester pertama tahun ini. Lalu, turun 1,95 persen pada Juli, naik 0,22 persen pada Agustus, dan kembali turun 0,79 persen pada September.
Industri tekstil juga terkendala demo buruh dan kenaikan upah yang terlalu tinggi. Tekanan utama terjadi di Jabodetabek dan Jawa Timur.
Banyak pabrik tekstil di ring pertama Jatim (Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan) yang meminta penangguhan upah minimum kabupaten/kota serta merelokasi pabrik ke kabupaten/kota di ring kedua dan ketiga.
Namun, tak sedikit pula industri tekstil dan produk tekstil yang merelokasi pabrik ke Jawa Tengah.
’’Secara upah, daerah-daerah tersebut memang lebih menarik untuk industri padat karya,” tutur Wakil Ketua Bidang Investasi, Pengembangan Usaha, dan IT DPP Apindo Jatim Tri Andhi. (vir/c18/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terminal Pulogebang Belum Beroperasi, 4 Masalah ini Jadi Biang Keroknya
Redaktur : Tim Redaksi