Fenomena di Amerika Latin, Pemerintah Terpuruk

Minggu, 13 Agustus 2017 – 07:09 WIB
Demonstrasi di Venezuela. Foto: AFP

jpnn.com, VENEZUELA - Apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan Amerika Latin yang dulu menjadi lahan subur pemerintahan kiri?

Di Brasil, Lula da Silva divonis penjara dan Dilma Rousseff dimakzulkan. Venezuela juga kacau balau di bawah Nicolas Maduro.

BACA JUGA: Tuding Dana Teroris Mengalir dari Kolombia

Menurut sejarawan dan kritikus sosial-politik Noam Chomsky, persoalan ekonomi yang menjadi pemicu.

Berbeda dengan Chomsky, pakar Amerika Latin Sydney Tarrow menganggap fenomena yang muncul di Amerika Latin hanya sebagai fase.

BACA JUGA: Polisi Dipecat Lantaran Tepergok Buka Situs Bokep di Kantor

Sifatnya pun temporer. Berikut kondisi di lima negara Amerika Latin yang mungkin bisa menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi di kawasan itu. (time/aljazeera/theconversation/theindependent/democracynow/hep/c19/ttg/jpnn)


VENEZUELA

BACA JUGA: Duh Berani Banget, Helikopter Polisi Serang Gedung MA

Dampak Kehilangan Chavez

Sepeninggal Hugo Chavez, Venezuela tak lagi punya pemimpin karismatik yang bisa mempersatukan rakyat. Kendati Presiden Nicolas Maduro adalah orang dekat sekaligus murid Chavez, kepemimpinannya tidak sama dengan sang mentor. Apalagi, dia berkuasa saat Venezuela dilanda krisis ekonomi.

Padahal, kaum papalah yang menjadi prioritas utama pemerintahan Chavez selama ini. Prinsip yang sama diterapkan Luiz Inacio Lula da Silva di Brasil dan Nestor serta Cristina Kirchner di Argentina. Di bawah Maduro, prinsip itu lenyap. Seiring dengan anjloknya harga minyak mentah dunia, Venezuela panen kemiskinan. Dan, unjuk rasa. Kini 93 persen warga tak punya cukup uang untuk membeli makanan.

Meski masih bertahan di kursi presiden, Maduro kian tak populer. Apalagi setelah dia melantik dewan konstitusi yang salah seorang anggotanya adalah sang putra. Hanya sekitar 21 persen rakyat yang masih mendukungnya. Belum lama ini, AS menjatuhkan sanksi kepada belasan legislator Venezuela. Pemimpin 54 tahun itu mengaku bangga disanksi. Tapi, belakangan, dia malah mengajak Presiden Donald Trump berunding. (*)

---

ARGENTINA

Berakhirnya Dua Dinasti Lama

Kemenangan Mauricio Macri dalam Pilpres Argentina 2015 mengakhiri dominasi dinasti politik Peron dan Kirchner. Argentina yang dulu gigih melawan AS pun kini berhaluan kanan tengah. Politikus yang pernah menjadi bos klub Boca Juniors itu jauh lebih moderat ketimbang pendahulunya, Cristina Kirchner.

Kirchner, Nestor, dan Cristina mendominasi politik Argentina selama 12 tahun. Masyarakat miskin menjadi prioritas sekaligus kunci kemenangan politik mereka. Tapi, saat harga barang-barang komoditas melemah di pasaran, Argentina pun dilanda krisis. Rakyat mendambakan perubahan. Dan, Macri siap memberikannya kepada rakyat. Kini strategi pe­mimpin 58 tahun itu sedang diuji. (*)

---

BRASIL

Kandasnya Harapan ke Lula

Di Brasil dominasi Partai Pekerja selama 13 tahun juga berakhir dengan pemakzulan Dilma Rousseff pada Agustus 2016. Kini Brasil berada di bawah komando Presiden Michel Temer yang tadinya menjabat wakil Rousseff. Temer yang berhaluan kanan tengah pun bukan pemimpin yang bersih. Dia sempat dibidik karena diduga kuat terlibat dalam meg­akorupsi yang sekarang sedang diselidiki.

Pekan lalu Temer lolos dari upaya pemakzulan oleh parlemen. Tantangan besar yang akan dia hadapi adalah Pemilu 2018. Meski saat ini menikmati kepemimpinan Temer, rupanya, rakyat belum bisa meninggalkan Partai Pekerja yang berhaluan kiri. Sebagian yang lain bahkan berpaling pada Social Democracy Party of Brazil yang menganut paham moderat atau tengah.

Sebelumnya, Lula da Silva sempat menjadi tumpuan harapan rakyat. Dia digadang-gadang kembali memimpin Brasil.

Tapi, harapan itu sirna setelah Lula da Silva divonis bersalah dalam kasus suap. Dia diganjar 9,5 tahun penjara meski saat ini masih bebas karena mengajukan banding. Dengan status terpidana, Lula da Silva jelas tidak akan bisa mencalonkan diri dalam pilpres mendatang. (*)

---

Ekuador

Hanya Unggul Tipis

Fakta bahwa Presiden Lenin Moreno hanya unggul sekitar 2,32 persen atas rivalnya, Guillermo Lasso, dalam babak kedua pemilihan presiden (pilpres) Ekuador menjadi fakta baru melemahnya ideologi kiri di Amerika Latin. Sebelumnya, Argentina dan Brasil lebih dulu berubah haluan. Tepatnya lebih ke tengah. Sedangkan Kuba menjadi lebih lunak setelah normalisasi hubungan dengan AS.

Selama ini, Ekuador identik dengan Rafael Correa, presiden yang bertahan di puncak kekuasaan selama 10 tahun. Di bawah Correa, perekonomian bisa tetap tumbuh dengan angka pertumbuhan rata-rata 3 persen dan angka kemiskinan turun 10 persen. Pada 2015, Ekuador bisa kembali membayar utangnya.

Sayang, masa jabatan Correa berakhir tahun ini. PAIS Alliance, partai Correa, lantas mengusung Lenin Moreno yang semula menjabat wakil presiden sebagai pengganti. Berkat popularitas Correa, Moreno unggul atas rivalnya meski sangat tipis. Ekuador pun sukses mempertahankan kepemimpinan sayap kiri. (*)

---

BOLIVIA

Tak Lagi Populer

Pamor Evo Morales sebagai pemimpin berhaluan kiri pudar tak lama setelah pelantikannya sebagai presiden untuk kali ketiga pada 2014. Dia juga sempat mengusulkan amandemen konstitusi yang akan membuatnya bisa kembali mencalonkan diri untuk kali keempat pada 2020 nanti. Melalui referendum, rakyat menolaknya.

''Saya akan tetap mencalonkan diri,'' ujarnya setelah hasil referendum 21 Februari 2016 tak berpihak kepadanya.

Morales boleh bersikeras bertahan. Tapi, fakta menunjukkan, mayoritas rakyat Bolivia tak lagi menginginkannya. Popularitasnya terus turun sejak skandal cintanya dengan Gabriela Zapata terungkap. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Untuk Kali Pertama, Presiden Jadi Terdakwa


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler