Fenomena Populisme Digital di Indonesia Sejalan dengan Kemajuan Internet

Rabu, 27 November 2024 – 08:34 WIB
Fenomena populisme digital ini sejalan dengan makin meleknya bangsa Indonesia terhadap internet. (Ilustrasi). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - BPS mencatat pada 2022, 67,99 persen warga Indonesia sudah memiliki ponsel. Lalu pada 2024, APJII menemukan fakta bahwa 79,5 persen warga Indonesia sudah terhubung dengan internet. Data yang sama menyebutkan 82,6 persen warga Indonesia di daerah tertinggal punya akses internet.

Kurator komunitas Yang Muda Yang Cemas Bayu M. Noor mengatakan fenomena populisme digital ini sejalan dengan makin meleknya bangsa Indonesia terhadap internet.

BACA JUGA: Seleksi Kompetensi PPPK 2024 Natuna, Pemkab Upayakan Jaringan Internet Stabil

Hal itu diungkapkan oleh Bayu saat Sekolah Politik dan Komunikasi Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menggelar webinar bertema “Tantangan Populisme Digital di Indonesia” secara online di Jakarta beberapa waktu yang lalu.

“Data-data ini menunjukkan Indonesia bangsa yang melek digital. Hal itu membawa baik kesempatan maupun tantangannya sendiri,” kata Bayu dikutip, Rabu (27/11).

BACA JUGA: Lippo Karawaci Gandeng FiberStar dan CBN, Hadirkan Koneksi Internet Cepat

Menurut Bayu, tantangan pada ruang digital saat ini adalahnya banyak narasi yang memuat ujaran kebencian muncul selama Pilpres 2024 berlangsung di Indonesia.

“Paling banyak terjadi di Twitter, kemudian Facebook, baru Instagram. Keadaan itu menimbulkan polarisasi di masyarakat,” tambah Bayu.

Setuju dengan pemikiran Bayu, Muhammad Ramadhan menilai fenomena populisme digital dengan perilaku pemilih di Indonesia, yang puncaknya disebutkan pada saat Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019.

“Penggunaan narasi populis tersebut dengan atribut SARA. Narasi ini dimunculkan oleh tokoh populis dengan diseminasi informasi secara digital,” kata Ramadhan.

Pada gelaran Pemilu 2024, populisme di Indonesia tergambarkan pada momen bersatunya Jokowi-Prabowo pada 2019 dan masuknya Prabowo ke dalam kabinet yang membawa pengaruh simbol “kampret” hilang.

Oleh karena itu, pada Pemilu 2024, penggunaan narasi populis berganti dengan kemunculan narasi “politik riang-gembira”.

Namun, di sisi lain populisme digital juga menciptakan peluang bagi kelompok-kelompok marginal yang sebelumnya tidak memiliki akses ke panggung politik.

Mereka dapat memanfaatkan media digital untuk menyuarakan isu-isu yang relevan dengan komunitas mereka, memberikan platform alternatif untuk dialog dan advokasi.

Keberhasilan ini sering kali dikalahkan oleh kekuatan besar populisme digital yang cenderung mengaburkan fakta dan menggunakan retorika emosional untuk meraih dukungan.

"Untuk itu, memahami dinamika populisme digital di Indonesia sangat penting untuk menjaga kesehatan demokrasi dan masyarakat, sehingga dapat merumuskan strategi yang bisa digunakan untuk menghadapi tantangan populisme digital," pungkas Ramadhan.

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler