jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman menilai kebijakan mobil listrik nasional sangat penting, mengingat Indonesia adalah negara penghasil nikel terbesar atau 27 persen berkontribusi untuk nikel dunia.
Indonesia tercatat menyumbang 72 juta ton cadangan nikel dari 139.419.000 nikel dunia.
BACA JUGA: Waduh! Banyak Banget ASN Dijatuhi Hukuman Sampai Pemberhentian Tidak Hormat
Jauh lebih besar dibanding Australia yang hanya menyumbang 15 persen, Brasil hanya 8 persen, Rusia 5 persen dan lainnya 20 persen.
"Itu artinya, Indonesia harus memiliki posisi tawar tinggi dalam pembangunan mobil listrik, tak perlu mengemis untuk mendatangkan produsen mobil listrik dunia, seperti Tesla."
BACA JUGA: Mantan Teroris Soroti Kontroversi Pernyataan Letjen Dudung Kostrad, Seru!
"Jika mereka tak menawarkan benefit untuk negara, untuk apa dipaksakan, toh Indonesia menjadi raja nikel dunia," ujar Ferdy dalam keterangannya, Sabtu (18/9).
Karena besarnya cadangan nikel Indonesia, Ferdy menyambut baik langkah Presiden Joko Widodo meresmikan groundbreaking pabrik batteray (litium) untuk bahan baku pembangunan mobil listrik di Kerawang, Jawa Barat.
BACA JUGA: BNPT Berencana Pulangkan Anak WNI Eks ISIS, Ferdinand Ingatkan Boy Rafli
Pabrik tersebut dibangun oleh perusahaan Korea Selatan, Hyndai dan LG bekerja sama dengan Indonesia Baterai Corporation (IBC).
IBC terdiri dari Pertamina, PLN, MIND ID/PT Aneka Tambang.
Ferdy meyakini kebijakan mobil listrik akan mengurangi ketergantungan impor minyak, mengingat produksi minyak nasional hanya 750.000 barel per hari, sementara kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) domestik mencapai 1,4 juta barel per hari.
Artinya, Indonesia harus mengimpor sekitar 700.000 barel minyak dari pasar internasional yang membuat neraca perdagangan defisit dan APBN tekor.
"Nah, dengan perlihan ke mobil listrik, Indonesia bisa selamat dari kelangkaan BBM, jurang defisit dan menciptakan energi bersih. Maka, saatnya pemerintah mengandalkan perusahaan negara, sekelas ANTM menopang kebijakan ini," ucapnya.
Ferdy merasa perlu memberi masukan bagi pemerintah Jokowi di industri nikel.
Pasalnya, kepemilikan asing di industri nikel masih dominan, terutama perusahaan-perusahaan Tiongkok.
Korporasi asing masuk melalui mitra dengan pengusaha domestik dan paling gencar membangunan smelter.
Data Kementerian ESDM (2020) menyebut peta industri nikel nasional bergeser dengan cepat dalam waktu 4 tahun belakangan.
Produksi nikel masih dikuasai INCO (Brasil/25persen), ANTM (19 persen) dan perusahaan lainnya (3 persen) pada 2014.
Namun, peta industri hilir sampai produk setengah jadi (intermediate product) telah berubah.
PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada 2021 menguasai 50 persen produksi hilir nikel.
INCO berkurang 22 persen, ANTM hanya 7 persen dan Virtue Dragon (Tiongkok) mengontrol 11 persen.
"Jadi, hampir 70 persen tambang nikel dikontrol asing. ANTM hanya memiliki smelter feronikel di Pomala dengan kapasitas produksi 27.000 ton per tahun."
"ANTM berharap penyelesaian pabrik feronikel di Halmahera Timur dengan kapasitas 13.000 ton per tahun, tetapi tak kunjung tuntas karena terkendala mahalnya harga listrik dari PLN yang membuat proyek itu tak ekonomis," ucapnya.
Ferdy lebih lanjut menilai Menteri BUMN Erick Thohir perlu mencari solusi akan masalah yang ada.
Ferdy juga memaparkan IMIP adalah perusahaan patungan antara Tsangshan Steel Holding (Tiongkok) 66,25 persen dan Bintang8 (domestik) 33,75 persen.
IMIP telah membangun smelter feronikel pertama melalui PT Sulawesi Mining Investment di Bahodopi (Sulawesi Tengah) dengan kapasitas 300.000 ton per tahun.
Smelter kedua dibangun PT Indonesia Guang Ching untuk memproduksi 600.000 ton feronikel per tahun.
Ekpansi perusahaan di atas masuk akal mengingat Cina adalah salah satu negara yang gencar mendorong pembangunan mobil listrik.
Dominasi perusahaan asing di tambang nikel membuat kedaulatan negara di sektor SDA diuji.
Pemerintah bisa saja tak berdaya berhadapan dengan dana besar yang dibawah investor asing dan lupa membuat perhitungan agar produksi nikel tak serampangan.
"Indonesia tak boleh bergantung pada perusahaan asing mendorong pengembangan mobil listrik. ANTM semestinya menjadi penopang kebijakan mobil listrik," katanya.
Ferdy berharap pemerintah memberikan kesempatan lebih besar kepada ANTM untuk mengontrol beberapa konsensi tambang potensial yang diciutkan INCO di Blok Bahodopi Utara dan Matarape.
Dia menyebut dalam lelang blok Bahodopi dan Matarape, pemerintah kelihatan lamban mengambil keputusan.
Lelang dua blok itu sudah berjalan sejak tahun 2018, tetapi pemerintah belum juga mengambil keputusan.
Menurut Ferdy, dua tahun merupakan waktu cukup lama.
ANTM membutuhkan kerja cepat dan produsen mobil listrik dunia bergerak kencang.
"Boleh jadi, tarik-menarik kepentingan dalam kementerian sangat tinggi antara memberikan blok nikel itu ke BUMN atau perusahaan swasta. Pemerintah semestinya memberi prioritas kepada ANTM sebagai perusahaan negara," katanya.
Ferdy juga menilai Presiden Jokowi semestinya menegur langsung Menteri ESDM dan Dirjen Minerba yang sangat lambat menyelesaikan proses tender wilayah kerja tambang nikel yang sudah diserahkan perusahaan asing kepada negara.
Selain itu, presiden juga dinilai perlu menertibkan para mafia tambang yang bermain di setiap tender-tender wilayah kerja tambang yang ingin memonopoli konsensi tambang nikel.
Ferdy menyarankan, bila perlu beberapa konsensi nikel yang sedang dalam proses tender di kementerian ESDM diberikan secara gratis kepada ANTM.
"Dengan demikian ANTM dan BUMN tambang bisa diandalkan menopang proyek strategis mobil listrik ini," pungkas Ferdy.(gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang