Festival Biduk Sayak Lestarikan Tradisi Kesenian Tertua dalam Pernikahan di Sarolangun

Minggu, 22 September 2024 – 11:36 WIB
Tradisi Biduk Sayak diangkat dalam Festival Biduk Sayak yang berlangsung di Lapangan Desa Jernih, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi pada Rabu (18/9). Foto: Dokumentasi Kemendikbudristek

jpnn.com, SAROLANGUN - Tradisi Biduk Sayak diangkat dalam Festival Biduk Sayak yang berlangsung di Lapangan Desa Jernih, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi pada Rabu (18/9). 

Biduk Sayak merupakan tradisi kesenian tertua di Kecamatan Air Hitam.

BACA JUGA: Kenduri Swarnabhumi 2024: Sukses Gelar 7 Festival, Generasi Muda Selalu Dilibatkan

Biduk Sayak  merupakan seni berbalas pantun yang dilakukan antara pemuda dan pemudi, atau dalam istilah setempat disebut sebagai bujang dan gadis. 

Kesenian ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sebuah bentuk komunikasi tradisional yang sarat akan makna sosial dan kultural.

BACA JUGA: Ritual Sakral Ajun Arah Ditampilkan di Festival Lek Nagroi, Bentuk Pelestarian Tradisi

Pamong Budaya Ahli Utama dari Kemendikbudristek Siswanto menjelaskan Biduk Sayak adalah simbol dari keharmonisan hubungan antar pemuda dan pemudi yang disampaikan melalui syair-syair cinta.

Menurut Siswanto, Biduk Sayak mengandung nilai-nilai luhur tentang cinta, kebersamaan, dan sopan santun yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. 

BACA JUGA: Festival Bumi Seentak Galah Serengkuh Dayung Jilid 3: Angkat Tradisi Mandi ke Aek

"Melalui pantun berbalas, kedua belah pihak mengekspresikan perasaan mereka dalam  bahasa yang halus dan penuh kiasan,” ujar Siswanto dalam keterangannya, dikutip Minggu (22/9).

Prosesi ini biasanya digelar pada malam hari setelah acara adat pernikahan, dimulai sekitar pukul sembilan malam dan berlangsung hingga larut.

Bagi masyarakat Air Hitam, Biduk Sayak adalah bagian tak terpisahkan dari perayaan pernikahan, menjadi simbol penyatuan dua hati.

Dalam prosesi Biduk Sayak, seorang pemuda akan mulai menyanyikan syair pantun yang diikuti oleh jawaban dari pemudi. 

Syair ini seringkali berisi ajakan maupun ungkapan perasaan yang dibalut dalam bentuk syair yang indah. 

Kurator lokal Azhar MJ yang ikut serta dalam melestarikan tradisi ini menekankan Biduk Sayak bukan hanya soal hiburan, tetapi juga media komunikasi yang menghubungkan masyarakat. 

“Setiap pantun dalam Biduk Sayak memiliki makna yang dalam. Selain sebagai ungkapan cinta, syair-syair ini mengandung pesan moral dan  nasihat, yang diwariskan secara turun-temurun. Ini adalah bentuk interaksi sosial yang kian jarang ditemui di zaman sekarang,” jelas Azhar.

Prosesi ini juga disertai dengan tarian yang melibatkan para penonton.

Pemuda dan pemudi yang berbalas pantun akan menari mengikuti irama musik tradisional yang dimainkan sepanjang acara. 

“Atmosfer malam hari, diiringi suara pantun dan tarian, menciptakan suasana yang meriah sekaligus sakral,” sambungnya.

Sementara itu, tokoh masyarakat Desa Jernih Ismadi menyebut Biduk Sayak adalah cerminan dari identitas masyarakat Air Hitam. 

Menurut Ismadi, Biduk Sayak juga bisa dilakukan sebagai cara untuk mengumpulkan para pemuda-pemudi melakukan 

kegiatan yang bermakna dan menghindari kegiatan-kegiatan negatif, seperti mabuk-mabukan dan judi. 

“Biduk Sayak juga memiliki arti tempat wadah berkumpul para masyarakat agar  hidup penuh kerukunan dan memiliki rasa 'malu' ketika melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan,” urainya.

Menurut Ismadi, Tradisi Biduk Sayak ini sudah ada sejak nenek moyang dan hingga kini masih terus dilestarikan.

Sebagai tradisi yang sarat makna, lanjutnya, Biduk Sayak menjadi salah satu bentuk seni yang mampu bertahan di tengah perkembangan zaman. 

Meskipun banyak tradisi yang mulai pudar, Biduk Sayak masih hidup dan dinikmati oleh masyarakat Air Hitam, terutama dalam acara-acara besar, seperti pernikahan. 

“Kami melihat Biduk Sayak sebagai salah satu simbol kekayaan budaya Sarolangun. Walaupun tantangan modernisasi terus ada, kami percaya tradisi ini tetap bisa hidup dan berkembang, terutama dengan adanya festival seperti ini yang terus mempromosikannya,” tandasnya.

Melalui festival tahunan yang memusatkan perhatian pada Biduk Sayak,  masyarakat setempat berharap tradisi ini bisa terus dilestarikan, tidak hanya ssebagaibagian dari sejarah, tetapi sebagai seni yang tetap relevan di masa kini.

Biduk Sayak adalah bukti warisan budaya lokal mampu menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, sekaligus menjaga identitas masyarakat di tengah perubahan zaman.

Festival Biduk Sayak merupakan satu dari 12 festival budaya Kenduri Swarnabhumi 2024 yang diharapkan menjadi katalis bagi upaya pelestarian budaya dan lingkungan di sepanjang DAS Batanghari, membangkitkan kesadaran akan pentingnya menjaga warisan nenek moyang untuk generasi mendatang.

Kenduri Swarnabhumi sendiri akan digelar di daerah aliran sungai (DAS) Batanghari, yakni di 10 kabupaten/kota se-Provinsi Jambi dan satu Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat dengan mengangkat narasi hubungan penting antara kebudayaan dengan pelestarian lingkungan, khususnya sungai, dan sebaliknya juga tentang pelestarian lingkungan untuk kebudayaan berkelanjutan.

Rangkaian pagelaran festival budaya yang akan diselenggarakan oleh masyarakat setempat ini, menjadi momentum memperkuat semangat kemandirian dalam mengangkat kearifan lokalnya. 

Setiap festival yang digelar akan berkoordinasi dengan Direktur Festival dan Kurator Lokal serta didukung Kemendikbudristek melalui Direktorat Perfilman Musik dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan. (mar1/jpnn)


Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler