jpnn.com, TEBO - Festival Bumi Seentak Galah Serengkuh Dayung Jilid 3 di Kabupaten Tebo yang merupakan bagian dari rangkaian acara Kenduri Swarnabhumi 2024 menggelar lokakarya yang membahas Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTbI) Tradisi Mandi ke Aek.
Tradisi Mandi ke Aek merupakan upacara adat yang telah dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat Daerah Aliran Sungai (DAS Batanghari), termasuk masyarakat Kelurahan Sungai Bengkal, Kabupaten Tebo, dan menjadi salah satu simbol kebersamaan serta hubungan harmonis antara manusia dan alam.
BACA JUGA: Festival Bumi Seentak Galah Serengkuh Dayung 3 jadi Pusat Perayaan Multikulturalisme di Tebo
Pewaris WBTbI Tradisi Mandi Ke Aek Novpriadi menjelaskan secara rinci prosesi dan makna di balik tradisi ini.
Dia menjelaskan Tradisi Mandi ke Aek khususnya di wilayah Tebo dilakukan saat bayi berusia tujuh hari atau setelah lepasnya tali pusat.
BACA JUGA: Festival Bekarang Lopak Sepang jadi Cara Ampuh Menjaga Kelestarian Sungai Batanghari
“Prosesi ini yang juga dikenal sebagai ‘nyebur’ merupakan bentuk penghormatan terhadap alam dan leluhur, serta ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kelahiran seorang anak,” terang Novpriadi.
Dalam prosesi ini, bayi digendong oleh seorang dukun yang membantu proses kelahirannya, dan diarak menuju sungai Batanghari dengan iring-iringan keluarga besar dari pihak ayah dan ibu.
BACA JUGA: Festival Payung Api, Sajikan Karya Kolaboratif dengan Perpaduan Tradisi & Seni
Dukun membawa tunam yang dibungkus kain hitam dan dibakar untuk membuka jalan dengan asapnya.
Setelah tiba di sungai, bayi dimandikan dengan air sungai yang telah dicampur dengan kembang tujuh rupa dan berbagai bahan lainnya.
Kemudian dukun pun membacakan mantra yang berbunyi 'Mudik Aek Ilir Aek, Ambek Aek pepat an Batang. Beranjak kau antu Aek, Aku nan Mandian anak cucu Adam.'
Setelah dimandikan, bayi dibawa kembali ke rumah untuk diayun dalam kain panjang, disertai dengan pembacaan salawat nabi dan doa keselamatan.
Prosesi ini juga memiliki makna sosial dan spiritual yang mendalam, seperti memperkenalkan bayi kepada lingkungan alam, terutama sungai yang menjadi sumber kehidupan, dan mengungkapkan rasa syukur serta terima kasih kepada dukun beranak.
“Pada umumnya, tradisi ini terjadi di wilayah atau daerah sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari. Yang membedakan ritusnya saja,” jelasnya.
Kendati begitu, karena kondisi Sungai Batanghari yang sudah tidak baik untuk kesehatan bayi, tradisi Mandi Ke Aek dilakukan dengan menggunakan media baskom.
Dalam prosesinya, pemandian bayi dilakukan dalam baskom bukan ke sungai.
Namun semua prosesi lain, termasuk doa-doa tetap dilakukan.
Sementara itu, Pamong Ahli Budaya Kemendikbudristek Siswanto memberikan apresiasi terhadap pelestarian Tradisi Mandi ke Aek dalam festival.
“Kenduri Swarnabhumi 2024 melalui Festival Bumi Seentak Galah Serengkuh Dayung berhasil mengangkat kembali tradisi-tradisi lokal seperti Mandi Ke Aek," kata Siswanto.
Menurut Siswanto, ini merupakan langkah penting menjaga keberlangsungan warisan budaya agar tetap hidup dan dikenal oleh generasi muda.
"Tradisi ini bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga cerminan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dalam berinteraksi dengan alam dan sesama,” tutur Siswanto.
Partisipasi komunitas dalam festival ini juga turut diapresiasi oleh komunitas, salah satunya adalah Komunitas Sanggar Seni Kuali Emas dari Desa Teluk Kuali.
Perwakilan Komunitas Sanggar Seni Kuali Emas dari Desa Teluk Kuali, Andi menyampaikan pihaknya bangga bisa turut andil menyukseskan festival ini.
“Kami merasa terhormat bisa menjadi bagian dari upaya pelestarian budaya ini," kata Andi.
Melalui festival ini, Andi berharap semakin banyak orang yang mengenal dan mencintai tradisi-tradisi lokal, serta memahami nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Festival yang digelar di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi ini merupakan satu dari 12 festival budaya Kenduri Swarnabhumi 2024 yang diharapkan menjadi katalis bagi upaya pelestarian budaya dan lingkungan di sepanjang DAS Batanghari, membangkitkan kesadaran akan pentingnya menjaga warisan nenek moyang untuk generasi mendatang.
Kenduri Swarnabhumi sendiri akan digelar di daerah aliran sungai (DAS) Batanghari, yakni di 10 kabupaten/kota se-Provinsi Jambi dan satu Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat dengan mengangkat narasi hubungan penting antara kebudayaan dengan pelestarian lingkungan, khususnya sungai, dan sebaliknya juga tentang pelestarian lingkungan untuk kebudayaan berkelanjutan.
Rangkaian pagelaran festival budaya yang akan diselenggarakan masyarakat setempat ini menjadi momentum memperkuat semangat kemandirian dalam mengangkat kearifan lokalnya.
Setiap festival yang digelar akan berkoordinasi dengan Direktur Festival dan Kurator Lokal serta didukung Kemendikbudristek melalui Direktorat Perfilman Musik dan Media Direktorat Jenderal Kebudayaan. (mrk/jpnn)
Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi