FGD Penguatan Peran DPD di DI Yogjakarta, Menarik dan Istimewa

Senin, 08 Juli 2024 – 17:21 WIB
Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin saat pembukaan FGD yang digelar di Grand Ambarukmo Hotel, Yogyakarta, Sabtu (6/7/2024). Foto: Humas DPD RI

jpnn.com - Forum Group Discussion (FGD) menyisakan banyak hal penting dan menarik bagi lembaga Dewan Perwakilan Daerah.

FGD yang digelar pada tanggal 6 Juli di Grand Ambarukmo Hotel bisa disebut istimewa mengingat tingginya antusiasme dan partisipasi anggota DPD terpilih, meskipun menurut panitia persiapannya tidak lebih dari satu pekan.

BACA JUGA: Firmanto Pangaribuan Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Universitas Islam Sultan Agung

Namun, Alhamdulillah hadir 53 anggota senator yang merupakan anggota terpilih dari berbagai daerah.

Kami sangat puas dengan antusiasme anggota terpilih se-Indonesia yang silih berganti memberikan masukan, pendapat bahkan otokritik terhadap lembaga tempat mereka mengabdi.

BACA JUGA: Dorong DPR dan DPD Berkolaborasi, Sultan: Sama-sama Mewakili Kedaulatan Politik Rakyat

Tidak lazim forum FGD lembaga DPD dihadiri oleh anggota sebanyak itu. Bahkan juga dihadiri oleh tokoh masyarakat Jogjakarta.

Isi tubuh lembaga senat ini tidak hanya dibedah dengan pisau analisis yang tajam ahli hukum tata negara Prof. Zainal Arifin Mochtar, namun juga dikeluarkan sendiri jeroannya oleh anggotanya yang hadir.

BACA JUGA: Mengkritisi Wacana Amendemen UUD 1945 Kembali ke Naskah Asli, Sultan: Tidak Realistis

Buruknya relasi politik internal DPD, menurut mereka justru menjadi faktor yang paling mengganggu peran-peran konstitusional lembaga.

Bisa dikatakan DPD kehilangan momentum peningkatan perannya bagi masyarakat dan Daerah pada periode kali ini, akibat terhegemoni oleh agenda politik pribadi oknum pimpinan.

Sehingga forum FGD yang diselenggarakan secara mendadak di Hotel Grand Ambarukmo Jogjakarta itu tidak hanya menjadi kesempatan untuk membahas langkah-langkah penguatan lembaga DPD sangat dibutuhkan.

Lebih dari itu, antusiasme anggota DPD seolah menjadi pertanda akan adanya babak baru perjuangan politik DPD yang penting untuk diperhatikan oleh publik.

Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamuddin yang didapuk sebagai pembicara utama mencoba memantik nalar kritis dan semangat anggota dengan sedikit evaluasi dan rencana strategi penguatan lembaga DPD.

Pertama, Senator tiga periode asal Bengkulu itu merekomendasikan agar lembaga DPD perlu melakukan pendekatan Collaborative Parlimament bersama DPR.

DPD dan DPR menurutnya merupakan lembaga yang sama-sama mewakili daulat rakyat. Anggotanya sama-sama dihasilkan melalui pemilihan umum secara langsung.

Dan, sama-sama diberikan mandat imperatif oleh konstitusi. Namun, meskipun keduanya memiliki legitimasi politik yang konstitusional, tapi tidak dengan kewenangan dan perannya masing-masing.

DPD dan DPR, kata mantan aktivis KNPI itu, memang memiliki sejarah yang berbeda. Keberadaan lembaga DPR yang sebelumnya disebut Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI) usianya hampir sama dengan Republik Indonesia.

Bahkan sebelum Indonesia merdeka, eksistensi DPR telah resmi dibentuk oleh Belanda, yang disebut dengan dewan Rakyat atau Volkstraad.

Sementara DPD secara kelembagaan, baru terbentuk setelah amandemen UUD tahun 2001.

Namun, yang menjadi penting untuk diperhatikan adalah bahwa DPD dibentuk sebagai konsekuensi diterapkan otonomi daerah dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kita tahu asas negara kesatuan merupakan ketentuan yang tidak bisa diganggu gugat dalam konstitusi.

Oleh karena itu, upaya negara dalam menjaga persatuan Indonesia ditengah rezim desentralisasi kekuasaan ini menjadi dasar filosofis dibentuknya lembaga DPD. Artinya, eksistensi DPD sejatinya sama pentingnya dengan DPR.

DPD sangat dibutuhkan dalam menjaga keseimbangan politik nasional, demokrasi dan keadilan fiskal pusat-daerah.

Sultan yang juga pernah menjabat sebagai kepala daerah melanjutkan rekomendasinya yang kedua adalah dengan merevisi UU terkait fungsi dan peran DPD.

Untuk memperkuat peran lembaga perwakilan tersebut bisa dimulai dengan merevisi UU tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan (PPP) dan UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).

Kedua UU ini perlu direvisi agar peran politik legislasi dan pengawasan DPD dan DPR bisa diberikan secara proporsional.

Khusus UU MD3 diharapkan dapat dipisah menjadi UU sendiri masing masing lembaga lembaga perwakilan tersebut( baik MPR- DPR- DPD dan DPRD).

Pemisahan UU ini dimaksudkan agar terjadi upaya mewujudkan kolaborasi  dan juga keadilan kekuasaan legislatif, hal penting juga mencegah intervensi antatlembaga.

Jadi, bukan bertujuan untuk melemahkan lembaga perwakilan, namun untuk mendorong peningkatan kualitas politik legislasi anggaran dan pengawasan masing-masing lembaga seperti yang digariskan oleh konstitusi.

Setiap lembaga diatur oleh UU nya secara mandiri, layaknya kementerian dan lembaga negara lainnya.

Sultan menutup dengan menyampaikan bahwa banyak pilihan dan opsi memperkuat lembaga termasuk juga men judisial review ke MK beberapa pasal dalam beberapa UU

Dalam konteks ini, setali tiga uang dengan rekomendasi yang disampaikan Sultan. Prof. Zainal Arifin Mochtar mengatakan sejatinya terdapat beberapa opsi yang bisa dilakukan sebagai upaya penguatan kewenangan dan peran DPD.

Tidak mutlak hanya melalui agenda amandemen konstitusi yang terbilang sulit secara politik.

Memaksakan kehendak politik DPD dengan jalan amandemen konstitusi adalah sangat sulit untuk ditempuh, jika kita memahami realitas politik yang ada.

Oleh karena itu, Pimpinan DPD ke depan diharapkan bisa realistis dengan dinamika politik Indonesia yang multi partai dengan sistem presidensial.

DPR sebagai pemegang kuasa membuat UU terlihat agak sulit berbagi fungsi legislasinya dengan DPD.

Namun hal itu bukan berarti DPR tidak sepenuh ingin melemahkan atau setidaknya membonsai kewenangan politik DPD.

Demikian juga dengan presiden, sebagai pembuat dan pelaksana UU. Memberikan kewenangan politik legislasi yang lebih kepada DPD dinilai akan memperumit proses legislasi UU itu sendiri.

Namun, kami meyakini semua opsi politik terkait penguatan peran DPD masih terbuka dan terdapat banyak alasan bagi presiden dan DPR untuk memberikan kewenangan politik legislasi kepada DPD.

Fraksi-fraksi Partai politik di DPR tentu berkepentingan dengan eksistensi DPD, sebagai sarana untuk meningkatkan pengaruh politik legislatif dan distribusi kader. Juga kekuasaan eksekutif.

Tentu sangat menghormati konstitusi dan berkepentingan dengan lembaga DPD yang diisi oleh anggotanya yang nonpartisan.

Keistimewaan lainnya pada momentum FGD Kamis lalu adalah saat anggota DPD diterima dan dijamu secara istimewa di Keraton Jogja.

Tepat di malam Tahun Baru Islam (1 Muharram 1446 H) atau malam satu suro. Di mana semua peserta FGD diundang oleh Gubernur DI Jogja yang juga merupakan Raja Jogjakarta, Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk beramah tamah di kediamannya.

Dalam tradisi sosial politik Indonesia yang terpusat di Jawa, peristiwa seperti ini menjadi sangat sakral dan penting bagi konstelasi politik nasional.

Pada kesempatan yang berharga itu, wakil ketua DPD beserta rombongan berbicara banyak hal terkait DPD dan isu kedaerahan.

Terdapat banyak kesamaan pandangan dan sikap para senator dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada isu pembangunan nasional dan daerah. Terutama pada isu desentralisasi kekuasaan dan fiskal.

Pemerintah pusat harus memberikan mandat yang sungguh-sungguh kepada pemerintah daerah dalam mengelola keuangan dan potensi daerah.

Namun pemerintah daerah juga diwajibkan menyiapkan SDM yang andal dan profesional dalam mengelola keuangan dan pelayanan publik kepada masyarakat.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
DPD RI   DIY   Parlemen   istimewa  

Terpopuler