Fikom Universitas Pancasila Buka Prodi Magister Baru, Diminati Influencer

Selasa, 24 Desember 2024 – 19:03 WIB
Rektor Universitas Pancasila, Prof. Dr. Marsudi Kisworo, IPU, (jas hitam) memberikan potongan tumpeng kepada salah satu mahasiswa Prodi Magister Media dan komunikasi. Foto Mesya/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Universitas Pancasila (UP) membuka Program Studi Magister Media & Komunikasi dengan konsentrasi Komunikasi krisis.

Ini merupakan prodi pertama di Indonesia yang didirikan untuk menjawab kebutuhan profesional dengan kompetensi khusus dalam mengelola komunikasi krisis di tengah situasi dan dinamika di era digital.

BACA JUGA: Sufmi Dasco Ahmad Dikukuhkan jadi Ketua Alumni Universitas Pancasila

Menurut Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila (Fikom UP) Anna Agustina, Ph.D., pembukaan prodi Magister Media dan komunikasi setelah melalui kajian dan refleksi panjang terhadap tantangan komunikasi yang dihadapi oleh organisasi, pemerintah, dan masyarakat dalam berbagai situasi krisis.  

"Kajian kami lakukan sekitar dua tahun dan melihat komunikasi krisis ini sangat dibutuhkan. Komunikasi krisis bukan hanya pada masalah bencana, tetapi juga dampak penggunaan teknologi juga," kata Ana di sela-sela pembukaan Prodi Magister Media dan komunikasi oleh Rektor Universitas Pancasila, Prof. Dr. Marsudi Kisworo, IPU, Selasa (24/12).

BACA JUGA: Wisuda Universitas Pancasila, Rektor Marsudi: 75% Lulusan Baru Terserap Dunia Kerja

Oleh karena itu, lulusan Prodi Magister ini ke depannya  diharapkan tidak hanya memiliki pengetahuan teoritis yang kuat, tetapi juga keterampilan praktis yang dibutuhkan dalam menghadapi krisis di dunia nyata. 

Dia menambahkan, peminat prodi baru ini cukup banyak, tetapi UP membatasi hanya 25 mahasiswa. Menariknya dari mahasiswa yang mendaftar, 50 persennya merupakan karyawan perusahaan dan influencer.

BACA JUGA: Rektor Universitas Pancasila Diduga Melakukan Pelecehan Seksual

Sementara itu, Prof. Marsudi dalam sambutannya mengatakan, komunikasi krisis sangat penting dan relavan di tengah situasi  post-truth saat ini. Krisis memerlukan penanganan komunikasi baik sebelum, sesaat dan sesudah krisis. 

Komunikasi tidak hanya meliputi sender, receiver, media, message, namun ada satu aspek yang sering dilupakan orang yaitu presence atau kehadiran, sehingga sering mengakibatkan salah paham.

Di era saat ini selain quote (kata-kata yang diucapkan), voice (suara), kehadiran tatap muka, atau tatap mata sebagai bentuk visual harus menjadi satu kesatuan. 

"Walaupun saya profesor teknologi, tetapi saya tegaskan bahwa pembelajaran online tidak akan efektif seperti pembelajaran tatap muka," ucapnya.

KaProdi Magister Media & Komunikasi, Fikom UP, Dr. Sudarto, S.T., M.Si mengatakan bahwa prodi media dan komunikasi ini dirancang agar ke depannya lulusan yang dihasilkan dapat mengelola komunikasi krisis dengan tiga tahapan krisis, yakni pra-krisis (mitigasi dan perencanaan krisis), krisis (komunikasi krisis di tengah situasi darurat), dan pasca-krisis (evaluasi dan perbaikan sistem komunikasi di masa depan).

Dengan pemahaman yang komprehensif di ketiga tahapan tersebut, diharapkan tidak hanya mampu mengelola komunikasi selama krisis terjadi, tetapi juga mampu membantu organisasi untuk memitigasi risiko dan mengurangi potensi kerusakan di masa depan.

Selain pembukaan prodi baru, Fikom UP melaksanakan seminar bertema “Crisis Communication in The Post-Truth Era”, dengan para pembicara Deputi Bidang pencegahan BNPB Dra. Prasinta Dewi, M.A.P., Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Ubaidillah.

Seminar ini membahas salah satu isu terkini dalam komunikasi krisis, yaitu fenomena post-truth, sebuah kondisi di mana perasaan dan keyakinan pribadi seringkali lebih dipentingkan daripada fakta objektif. 

Di era post-truth, krisis komunikasi tidak hanya disebabkan oleh kesalahan informasi, tetapi juga disinformasi dan hoaks yang sengaja disebarkan untuk memanipulasi opini publik.

Dalam konteks kebencanaan alam atau krisis sosial, fenomena ini makin sering ditemui, di mana penyebaran berita palsu dapat memperburuk keadaan dan memperpanjang durasi krisis. 

Untuk itu perlu diketahui bagaimana organisasi, pemerintah, dan masyarakat dapat merespons krisis komunikasi di era digital dengan lebih baik, memanfaatkan teknologi dan strategi komunikasi lebih efektif untuk menangkal disinformasi. (esy/jpnn)


Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler