Film Festival Indonesia di Melbourne memutar film Tabula Rasa, hari Rabu (15/04). Dalam pemutaran ini banyak terlihat sejumlah anak-anak muda Australia yang memenuhi teater satu ACMI di kawasan Federation Square.

Setiap hari Rabu menjadi jadwal bertemunya para anggota dari Asosiasi Pemuda Australia dan Indonesia di Victoria, atau Australia-Indonesia Youth Association (AIYA) untuk menggelar program pertukaran bahasa. 

BACA JUGA: Australia Mulai Pindahkan Pengungsi ke Kamboja

Kebetulan Film Festival Indonesia (FFI) sedang digelar di Melbourne pekan ini, maka pertemuan AIYA tersebut menjadi acara nonton bareng.

Film yang diputar adalah film Tabula Rasa. Sutradara Adriyanto Dewo  dan pemeran utamanya, Dewi Irawan turut hadir di acara pemutaran film.

BACA JUGA: Puluhan Artefak dari Tahun 1804 Ditemukan di Pusat Kota Hobart

Anggota AIYA Victoria bersama aktris Dewi Irawan usai menonton film Tabula Rasa. Foto: Australia Plus Indonesia.

Daniel Brooks, Presiden AIYA di Victoria mengatakan selain menjadi mitra partner untuk FFi 2015, ia ingin agar para anggotanya bisa melihat lebih banyak budaya Indonesia. Daniel pun mengaku lewat nonton bareng ini bisa menambah pengetahuan soal budaya dan bahasa Indonesia

"Saya merasa kita jadi bisa lebih melihat banyak situasi yang belum dialami sebelumnya," ujar Daniel. "[Di beberapa film] juga bisa jadi mengenal beberapa bahasa daerah Indonesia", tambah Daniel yang menyukai akting Dewi Irawan dalam film 'Tabula Rasa'.

BACA JUGA: Pembuat Sepatu Tentara Australia Sejak PD I Kini Masih Berproduksi

Sejumlah anak muda lainnya merasa bahwa film Indonesia semakin menonjolkan karakternya. Seperti yang diungkapkan oleh Rachel Daymond, mahasiswa asal Monash University.

"Jika dibanding dengan sebelumnya, film-film Indonesia kini semakin terasa unik. Seperti Tabula Rasa yang banyak menonjolkan keberagaman budaya Indonesia," ujar Rachel yang pernah belajar di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.Sutradara Tabula Rasa, Adriyanto Dewo (kedua dari kiri) dan pemeran utama Dewi Irawan (kedua dari kanan) saat sesi tanya jawab. Foto: Australia Plus Indoensia.

Film dengan menangkat budaya dan kehidupan Indonesia inilah yang membedakan dengan film-film produksi negara lain. Tim Flicker, mahasiswa dari RMIT University di Melbourne berpendapat bahwa saat film Indonesia menunjukkan kekuatannya, justru saat banyak bercerita tentang Indonesia.

"Industri film di Indonesia, sama seperti halnya di Australia, memiliki keterbatasan dana. Karenanya sangat baik jika industri film kita lebih menonjolkan apa yang sudah dimiliki oleh negara kita, dibanding meniru apa yang diproduksi Hollywood," ujar Tim kepada Erwin Renaldi dari ABC International.

Perkembangan film Indonesia tidak hanya dinikmati oleh pemuda asal Australia saja, tetapi juga bagi warga Indonesia yang sedang belajar, bekerja, atau menetap di Melbourne.

Sherly Chandra Gunawan, asal Jakarta yang sudah 14 tahun menetap di Australia mengaku kalau sekarang ia bisa belajar lebih banyak Indonesia lewat film.

"Kadang kita yang orang Indonesia pun tidak tahu seperti apa kehidupan di Indonesia, apalagi bagi kita yang tinggal di luar Indonesia," ujar Sherly yang bekerja di industri marketing.

"Film dulu dengan sekarang pun sudah berbeda [temanya]. Sekarang film-film lebih mengangkat realita kehidupan daripada mimpi kehidupan," tambah Sherly.

Baginya film Kapan Kawin, yang juga diputar di FFI, menjadi bukti bahwa banyak wanita-wanita di atas 30 tahun di Indonesia yang kerap ditanya soal kapan menikah.Suasana sebelum pemutaran film Tabula Rasa. Foto: ABC International.

FFI tahun 2015 ini menangkat tema "Wajah Lain Indonesia". Karenanya, film-film yang diputar pun memiliki cerita yang menonjolkan keberagaman budaya dan kehidupan di Indonesia.

Diantara film yang diputar adalah Siti dengan berbahasa Jawa dan Tabula Rasa, yang banyak menggunakan bahasa Padang.

"Film Festival tahun ini sangat hebat dengan pemilihan film yang sangat beragam ... Saya juga merasa kualitas film Indonesia semakin banyak," ujar Nick Jackson dari University of Melbourne yang mengaku menyukai film-film hasil karya Garin Nugroho.

Tidak hanya para pemuda dari AIYA, pemutaran film Tabula Rasa juga dihadiri oleh warga lokal Australia yang tergabung dalam kelompok Meet Up Bahasa Indonesia.

Meet Up adalah jejaring sosial yang memfasilitasi orang-orang dengan hobi atau kegemaran yang sama.

Film Tabula Rasa yang mengangkat kisah mimpi seorang pemuda asal Papua untuk menjadi pemain sepak bola yang kandas. Ia pun kemudian bertemu keluarga pemilik restoran Padang.

Dengan unsur kuliner yang ditonjolkan, beberapa adegan yang memperlihatkan masakan Padang mendapat sambutan ekspresi dari para penonton di Melbourne, seperti "waahhh..." dan "bikin laper".

Film Tabula Rasa mendominasi Festival Film Indonesia, penghargaan tertinggi bagi sineas Indonesia, di tahun 2014. Dewi Irawan mendapat piala Citra untuk pemeran utama wanita terbaik, sementara Adriyanto Dewo sebagai sutradara terbaik. 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Akan Buka Keran Impor Mobil untuk Pembelian Pribadi

Berita Terkait