Film Itu Ibarat Candu yang Memabukkan

Sabtu, 17 Mei 2014 – 23:24 WIB
Foto: Don Kardono/Indopos/JPNN

jpnn.com - Sesuatu yang “memabukkan” pasti abadi! Makin dikekang, makin difatwa, makin dimaki, makin menjadi-jadi. Di balik selimut “bikin mabuk” itu, selalu tersimpan bisnis yang tak pernah mati. Perfilman masuk dalam kategori itu, mirip candu yang addict, memabukkan. Itu yang membuat film akan hidup selama-lamanya.

-------------------------------------------------

BACA JUGA: Adegan Tsunami Godzilla Buka Luka Lama Warga Jepang

DON KARDONO, CANNES

-------------------------------------------------

BACA JUGA: Selena Gomez Berusaha Lupakan Justin Bieber

 

Jangan tanya soal demand! Karena bukan itu lagi yang dibicarakan pengamat, pemerhati, produser, sutradara, artis dan insan perfilman di seluruh dunia. Yang terpenting adalah memilih dan menentukan segmentasi. Mau dijual ke mana? Area mana? Negara apa? Diputar pada tipikal masyarakat seperti apa? Trend kesukaan publik bergerak ke mana? Tema dan ide kreatif apa yang bisa mensuplay permintaan yang batasnya langit itu?

BACA JUGA: Ahmad Dhani Dilantik jadi Ketua Seni dan Budaya NU

Ke mana harus berpromosi? Memilih festival di mana? Desain promonya seperti apa? Salah dalam menentukan setting itu, fatal akibatnya. Sebagai industri kreatif, film tetap harus tunduk pada mekanisme pasar.  Passwordnya sama: kreativitas! Ujungnya sama: diminati, disukai, dan laku di pasar. Muaranya sama: menghasilkan laba, dengan margin plus plus plus. Prinsipnya pun sama: matching cost and benefit.

Benar, film itu harus berangkat dengan nilai-nilai, kedalaman filosofi, berakar dari budaya dan tradisi, dan menciptakan peradaban. Benar pula, film harus mengedukasi anak-anak bangsa, agar bertumbuh tanpa harus kehilangan jatidiri. Bangga menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Memang ada fakta, bahwa film yang berkualitas belum tentu direspons positif oleh public. Sebaliknya, film picisan, jauh dari kata “bermutu” justru booming di pasar film. Laku di mana-mana, menghasilkan laba. Itu bisa disebut pilihan, juga bisa disebut sebagai fakta pasar. Bagi mereka yang sudah malang melintang di bisnis perfilman, feeling pasar sebuah karya film itu sudah bisa diraba, sejak sebelum promo. 

“Saya juga kadang merasa heran, film itu sebelum diputar di bioskop, tanda-tanda mau laku keras dan tidak itu sudah terasa sebelum hari perdana. Auranya sudah terasa. Ini film bakal booming, ini biasa-biasa saja, ini rugi,” aku Gope T Samtani, RAPI Films saat ditemui di Cannes.

Gope mencontohkan film Sang Kiai. Film drama yang diproduksi tahun 2013 dengan tema yang sangat berat, religius, berbudaya, berbasis sejarah, mengangkat kisah pejuang kemerdekaan RI, sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama dari Jombang, Jawa Timur. Yakni Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari. Film yang dibintangi oleh Ikranagara, Christine Hakim, Agus Kuncoro, Adipati Dolken itu ditonton oleh lebih dari 250 ribu orang.

“Untuk kategori film nasional, itu sudah sangat bagus. Tetapi jika dibandingkan dengan ongkos produksi, dengan kualitas film sehebat itu, angka itu masih kurang jauh,” aku Gope yang sudah 45 tahun malang melintang di bisnis perfilman. Dia mengakui, ada film yang rugi, ada yang lama, tetapi selama ini secara keseluruhan tetap menjanjikan.

Gope sudah delapan kali mengikuti Festival de Cannes. Hasilnya? “Sekarang banyak film-film kita yang laku di pasar internasional. Ini sebuah perkembangan yang bagus, baik di dunia perfilman maupun iklim investasi di perfilman,” aku dia.

Tetapi, lanjut Gope, film action komedi “Comic 8”, yang mengocok perut itu justru ditonton oleh lebih dari 700.000 orang. Film yang berkisah delapan anak muda dari berbagai macam latar belakang kisah hidup, dan kebetulan sama-sama merampok bank itu, juga karya kreatif yang hebat. Imaginasi yang sederhana tapi kuat. Misalnya soal motif perampokan, ada yang karena galau, iseng, hobi, adrenaline, sport atau untuk menghidupi panti asuhan dan rakyat miskin seperti Robin Hood.

Film yang dibintangi comedian: Mongol Stres, Mudy Taylor, Ernest Prakasa, Kemal Palevi, Bintang Timur, Babe Cabiita, Fico Fachriza, Arie Kriting, Indro Warkop, Nirina Zubir, Nikita Mirzani, Pandji Pragiwaksono, Boy William, Candil , Coboy Junior, Jeremy Teti, Kiki Fatmala, Agus Kuncoro, Joe P Project, Cak Lontong, Henky Solaiman, Laila Sari, Agung Hercules, Ence Bagus, Ge Pamungkas sukses di pasaran.

Terlepas dari soal industri perfilman, Ketua BPI – Badan Perfilman Indonesia Alex Komang berkali-kali menyebut, dunia film itu seperti minum kopi. Kalau sudah masuk, susah keluar. Kalau sudah basah, susah keringnya. Kalau sudah cinta, tak mudah memutuskannya. Orang juga sering menyebut: candu film.

Soal pasar film dunia, kemarin juga dibahas dalam diskusi di arena Festival de Cannes. Sydney Levine, pendiri Filmfinders, perusahaan pertama database, distributor, agen penjualan, dan programmer festival. Dia juga distributor Twentieth Century Fox di Amsterdam. Dia didampingi Peter Belsito, pengajar di Deutsche Welle Academie, Woodbury University, Chapman University, University of Monterrey, EICTV di Cuba.

Sydney Levine dan Belsito menyampaikan overview atas pasar film dunia.  Satu tahun ada 1.000 festival film internasional, di seluruh penjuru dunia. Dari yang kecil, hingga yang besar. Ada 450 international sales agent, untuk film dengan genre khusus. Ada 2.500 distributor dan agen untuk bioskop, TV, DVD, online stream, dan lainnya. Ada 60 distributor yang menguasai territorial di seluruh dunia.

Ada 2.500 sampai 5.000 film yang dipasarkan di setiap projek dan festival. Ada tiga festival utama, yang wajib diikuti. Pertama, Festival de Cannes di Prancis yang terbesar, dengan rata-rata 10.000 pengunjung per tahun. Kedua, AFM atau America Film Market, yang biasa dilangsungkan di Santa Monica, California, dengan 8.000 pelaku bisnis film di sana. Ketiga, Berlin International Film Festival yang kerap disebut dengan istilah Berlinale.

Berlinale adalah salah satu festival dan pasar film yang sangat popular di dunia film. Pertama kali digelar sejak tahun 1951 di Berlin Barat. “Tiga festival utama ini sangat penting, baik untuk menjual, membeli, dan mendistribusi karya film,” kata Sydney Levine.

Dia juga menambahkan, dua festival lain juga perlu diikuti. Yakni Sundance Film Festival, yang digelar oleh Sundance Institute, di Utah, AS. Ini merupakana festival independen yang terbesar di AS. Satu lagi, Toronto International Film Festival (TIFF) setiap bulan September di Toronto, Ontario, Canada. “Pasar Asia juga mulai bangkit, tetapi banyak yang terkendala oleh regulasi,” kata Sydney.

Yang dimaksud dengan produksi dan pasar film Asia adalah India, Korea, Jepang, Taiwan, China dan Rusia. Regulasi di Asia memang berbeda. Di Indonesia sendiri, kalau ada film, meskipun kualitasnya bagus, tetapi bertentangan dengan filosofi bangsa, ya pasti diblok, tidak boleh beredar. “Pasar film dunia itu terbuka, dan tidak ada matinya, cuma kita harus cerdas membaca pasar, jika ingin berinvestasi panjang di film,” kata dia. (don/bersambung).  

BACA ARTIKEL LAINNYA... Godzilla 2014, Monster Pemecah Rekor Box Office


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler