Film Siti besutan sutradara Eddie Cahyono diputar di hari kelima Indonesian Film Festival (IFF) 2015, yang digelar di Melbourne. Para pencinta film menyambut baik film yang dibuat dalam format hitam putih ini.

Film 'Siti' untuk pertama kalinya diputar di di Australia, hari Senin (13/04) dalam ajang Festival Film Indonesia yang digelar di Melbourne. 

BACA JUGA: 772 Ribu Warga Australia Jadi Korban Pencurian Identitas

Film Siti menawarkan sesuatu yang berbeda dengan kebanyakan film-film lainnya. Dengan format hitam putih dan pengambilan gambar dengan aspek rasio 4:3, film ini mendapat antusias dari sejumlah pencinta film di Melbourne.

"Film ini sengaja dibuat dengan hitam putih dan rasio framing yang lebih padat karena kami ingin menonjolkan kehidupan Siti yang penuh keresahan, kebosanan, dan tekanan," ujar Eddie Cahyono sang sutradara, yang ikut hadir dalam pemutaran film tersebut.

BACA JUGA: Sejumlah Universitas di Sydney Diguncang Skandal Pelanggaran Akademik

Salah satu adegan film Siti. Foto: Jaff Film Festival.

 

Ujel Bausad selaku videographer dari film tersebut mengaku saat pertama kali diajak terlibat dalam film berlatar belakang laut dan pantai, ia terpikir untuk mengambil gambar penuh warna.

BACA JUGA: 20 Mahasiswa Indonesia Magang Jadi Peternak di Australia

"Awalnya terpikir mengambil gambar-gambar eksotik di pantai, banyak angin, pohon kelapa dan lain-lain, awalnya saya tidak yakin dengan keputusan Eddie," ujar Ujel.

"Saya belum pernah membuat film panjang hitam putih, tapi kemudian saya tahu bahwa eksotis tidak melulu lewat gambar-gambar yang berwarna dan indah."

Ujel pun yakin bahwa kekuatan karakter Siti sebagai wanita yang diceritakan memiliki banyak tekanan dalam hidupnya justru membuat film ini menjadi berbeda.

Studio Cinema 1 di ACMI, Federation Square pun terlihat cukup penuh saat film Siti diputar. Penonton merasa puas mendapatkan pengalaman menonton yang berbeda lewat film ini.

Salah satu penonton, Michael Reardon mengaku senang melihat sinematografi dengan gaya hitam putih. Ia pun merasa kembali ke Indonesia, yang pernah dikunjunginya.

"Film ini mengingatkan perjalanan saya ke sebuah desa di Sumatera Utara selama seminggu. Benar-benar mengangkat dengan jelas kehidupan di pedesaan di Indonesia," kata Michael kepada Erwin Renaldi dari ABC International.

Sesuai dengan tema festival tahun ini, yakni 'Wajah Lain Indonesia', film Siti ini cukup mewakili kehidupan mereka yang jauh dari perkotaan besar dan harus berjuang dengan kesusahan setiap harinya.

"Saya merasa sedih karena memang masih banyak orang di Indonesia yang sedikit punya uang atau pendapatan dan mereka terjebak dalam kondisi seperti itu," tambah Michael.
Siti Film
Eddi Cahyono dan Ujel Bausad membuka pemutaran film Siti di ACMI, Melbourne, Senin (13/04). Foto: Erwin Renaldi.

 

Sejumlah penonton pun merasa kagum dengan bahasa yang digunakan dalam film ini, yakni bahasa Jawa.

"Yang menarik karena filmnya dalam bahasa Jawa. Meski kita tidak mengerti tapi kita jadi merasakan langsung seperti apa kehidupan warga di pedesaan," ujar Dara Maharani, salah satu mahasiswa Indonesia di Melbourne.

Film Siti pernah diputar di Festival Film Singapura di tahun 2014. Di tahun yang sama, film ini pun mendapat kehormatan untuk diputar di Festival Film Internasional yang digelar di Rotterdam dan Festival Film Asia Jogja-netpac. 

Film produksi Fourcolors Films ini mengangkat cerita Siti yang mengasuh anak dan ibu mertuanya, di saat suaminya yang dulu pernah menjadi nelayan, mengalami lumpuh sehingga harus berbaring di tempat tidur. Siti memiliki pilihan yang sulit saat bertemu dengan seorang polisi yang mencintainya. Ia dihadapkan untuk tetap mengurus dan menjadi tulang punggung keluarganya, atau mencoba kehidupan lain dengan polisi tersebut.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dikritik Lamban, Menteri Imigrasi Cuek Proses Individual Permohonan Pencari Suaka

Berita Terkait