Filosofi Hidup dalam Bunga

Kamis, 21 Agustus 2014 – 00:31 WIB
Foto: Dimas Alif/Jawa Pos

jpnn.com - SURABAYA – Ikebana, seni merangkai bunga asal Jepang, punya makna filosofis yang dalam. Bentuknya yang unik dengan rangkaian bunga minimalis membuatnya kian menarik. Anak-anak muda pun terpikat mempelajarinya.

Salah seorang peminatnya adalah Septian Alfa, 24. Menurut dia, jika dibandingkan dengan rangkaian bunga bergaya Eropa, ikebana memang kurang populer. Padahal, seni merangkai bunga dari Negeri Matahari Terbit itu sudah muncul di Indonesia 32 tahun lalu. Di Jepang ikebana ada sejak lima abad silam.

BACA JUGA: Ngemil Kacang Dapat Mengurangi Risiko Jantung

Rangkaian ikebana tidak hanya disusun oleh bunga. Daun, buah, rumput, dan ranting juga menjadi unsur penting dalam ikebana. ’’Membuat rangkaian ikebana gampang-gampang susah,’’ ujar Septian.

Yang terpenting dalam membuat ikebana adalah memperhatikan cara merangkai, ukuran, tekstur, volume, warna, jambangan, dan tempat memajang. Dengan begitu, rangkaian bunga terlihat indah dan bernilai seni tinggi.

BACA JUGA: Lima Cara Mencegah Kantung Kemih Terlalu Aktif

Ciri khas ikebana adalah rangkaian dengan menggunakan materi floralyang minimalis. Tapi, di situ ada tatanan garis, ritme, dan warna yang harmonis. Meski minimalis, artinya dalam dan kaya.

Dalam sejarah Jepang, ikebana dibuat sebagai sesembahan kepada sang Buddha atau roh leluhur. Rangkaiannya pun masih sederhana. Yakni, terdiri atas tiga tangkai bunga yang ditancapkan secara simetris. Tangkai utama paling panjang berada di tengah dan dua tangkai lainnya yang lebih pendek berada di kanan dan kiri tangkai utama.

BACA JUGA: Menggigit Kuku, Berbahaya Atau Menjijikkan?

Namun, kini ikebana mulai berkembang di seluruh penjuru dunia. Perkembangan seni merangkai bunga ala Jepang tersebut akhirnya mengikuti gaya hidup manusia yang terus berubah. ’’Sekarang tidak hanya tiga tangkai, tetapi lebih banyak mengkreasikan materi lain dalam vas bunga,’’ ujarnya.

Banyaknya bentuk aliran ikebana membuat Septian harus belajar lebih dalam. Tiga aliran yang paling dasar adalah gaya rikkashoka, dan jiyuka.Rikka digunakan untuk perayaan keagamaan. Gaya yang berkembang pada abad ke-16 tersebut menampilkan keindahan lanskaptanaman.

Sementara itu, shoka tidak terlalu formal. Tapi, sentuhan tradisionalnya masih kentara. Modelnya adalah rangkaian bunga yang berfokus pada bentuk asli tanaman. Rangkaian tersebut muncul dari pengaruh Eropa. Salah satu ragam gaya itu adalah nageire, menggunakan vas tinggi dengan rangkaian hampir bebas. Ada juga moribana, menggunakan wadah rendah dan mulut besar.

Nah, untuk gaya jiyuka, rangkaian tersebut lebih bebas sesuai dengan kreativitas dan imajinasi si perangkai. Gaya jiyuka menjadi cara merangkai bunga yang digemari anak muda. ’’Jiyuka berkembang dengan gaya bebas, sudah ada pengaruh modern. Rangkaian bunganya mewakili imajinasi dan tema apa pun,’’ urainya.

Menurut dia, merangkai ikebana jauh lebih sulit daripada rangkaian bunga lain. Tidak sekadar merangkai bunga, perubahan waktu ternyata juga sangat diperhatikan. Sebab, perubahan waktu tersebut dianggap refleksi diri dan diaplikasikan dalam rangkaian. Misalnya, penggunaan materifloral yang kuncup. Itu melambangkan manusia pada masa akan datang.

Begitu juga jika menggunakan bunga setengah mekar sebagai gambaran masa kini. Daun-daun yang mulai menguning melambangkan kejadian yang sudah lampau. Itu sebabnya, perangkai bunga harus benar-benar mengerti makna setiap rangkaian. ’’Setiap rangkaian mengandung filosofi manusia,’’ tambahnya.

Septian mengatakan, ikebana saat ini justru diminati orang-orang yang memiliki seni tinggi atau bergaya futuristis. Mereka memanfaatkan ikebana tidak hanya sebagai pajangan di ruangan, tetapi juga menggambarkan dirinya sendiri. (ayu/c7/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Otak Pecandu Seks Beraktivitas Mirip Pecandu Narkoba


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler