BELANDA punya total football. Italia memiliki catenaccio. Spanyol membanggakan dirinya lewat tiki-taka. Melalui tiki-taka, Tim Matador menjadi satu-satunya negara yang berhasil meraih trofi Piala Eropa dan Dunia secara beruntun. Iker Cassilas dan kawan-kawan pun dinobatkan sebagai tim tersukses di dunia.
Tapi, tunggu dulu. Darimanakah sebenarnya tiki-taka berasal? Jawabnya, ternyata bukan dari Spanyol. Melainkan Barcelona, klub dari wilayah Katalunia yang enggan mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Spanyol. Ya, Tim Matador rupanya “mencuri” resep Blaugrana. Maka, bukan kebetulan jika sukses Spanyol sejatinya meniru kegemilangan Barcelona di pentas La Liga, Eropa, bahkan dunia.
Johan Cruyyf merupakan peletak dasar filosofi tiki-taka. Ia menerapkan gaya permainan itu selama melatih Barca dari 1988-1996. Tiki-taka yang digagas Cruyyf adalah perpaduan gaya total football dengan sepak bola Spanyol. Ini bisa dimaklumi mengingat Cruyyf merupakan anak didik Rinus Michel, pelatih jenius penemu total football.
Situs eplindex.com menggambarkan tiki-taka sebagai pendekatan yang mengutamakan kekompakan dan pengetahuan mengenai ruang di lapangan hijau. Bola-bola pendek dan akurat dialirkan secara jeli memanfaatkan celah pertahanan lawan. La Masia menjadi tempat dimana tiki-taka terus disempurnakan. Jadi jangan heran jika gaya permainan Barcelona tak berubah sejak era 1988.
Tiki-taka sempat memudar pada era 90-an. Namun kembali dipeluk teguh sejak Guardiola melatih tahun 2008. Guardiola adalah anak didik Cruyyf, juga jebolan La Masia. Pada tahun-tahun awal kepelatihannya, Pep bahkan rela melepas bintang-bintang seperti Ronaldinho dan Deco. Ia lebih memilih Iniesta, Xavi dan Messi yang merupakan jebolan La Masia.
Itu dilakukannya demi menyempurnakan kekompakan di lapangan hijau. Hasilnya adalah 12 trofi selama dilatih Guardiola (2008-2010). Barca di masa Guardiola sukses mematahkan dominasi Real Madrid di La Liga. Maka, ketika Pep mengundurkan diri, banyak pihak menilainya sebagai petanda keruntuhan Barcelona.
Tapi itu tidak terjadi. Pengganti Pep, Tito Vilanova, sejauh ini berhasil mematahkan penilaian itu. Musim ini Barca jauh mengungguli Madrid dengan selisih 19 poin. Vilanova juga tak sekedar berbekal materi pemain warisan Guardiola. Dalam banyak laga, ia lebih sering menurunkan pemain-pemain muda didikan La Masia, seperti Martin Montoya, Marc Aregall dan Cristian Tello.
Tiki-taka ala Vilanova juga tidak sekaku Guardiola. Ia membuat tim berani memainkan umpan-umpan lambung nan jauh. Ruang permainan juga lebih melebar. Namun tidak meninggalkan ciri khasnya yang berupa kreativitas, penguasaan bola dan umpan-umpan pendek.
Ya,Vilanova bisa dibilang cukup sukses mewarisi tradisi tiki-taka yang sudah turun temurun. Timnya bahkan tetap tampil memukau meski dirinya terkapar di rumah sakit akibat penyakit kanker. Dan Barca akan semakin siap menuntaskan misi merebut trofi La Liga musim ini jika Vilanova pulih dan kembali melatih. Bisa jadi, Barca versi Vilanova akan semakin kuat dibanding era kepelatihan Guardiola. (ish)
Tapi, tunggu dulu. Darimanakah sebenarnya tiki-taka berasal? Jawabnya, ternyata bukan dari Spanyol. Melainkan Barcelona, klub dari wilayah Katalunia yang enggan mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Spanyol. Ya, Tim Matador rupanya “mencuri” resep Blaugrana. Maka, bukan kebetulan jika sukses Spanyol sejatinya meniru kegemilangan Barcelona di pentas La Liga, Eropa, bahkan dunia.
Johan Cruyyf merupakan peletak dasar filosofi tiki-taka. Ia menerapkan gaya permainan itu selama melatih Barca dari 1988-1996. Tiki-taka yang digagas Cruyyf adalah perpaduan gaya total football dengan sepak bola Spanyol. Ini bisa dimaklumi mengingat Cruyyf merupakan anak didik Rinus Michel, pelatih jenius penemu total football.
Situs eplindex.com menggambarkan tiki-taka sebagai pendekatan yang mengutamakan kekompakan dan pengetahuan mengenai ruang di lapangan hijau. Bola-bola pendek dan akurat dialirkan secara jeli memanfaatkan celah pertahanan lawan. La Masia menjadi tempat dimana tiki-taka terus disempurnakan. Jadi jangan heran jika gaya permainan Barcelona tak berubah sejak era 1988.
Tiki-taka sempat memudar pada era 90-an. Namun kembali dipeluk teguh sejak Guardiola melatih tahun 2008. Guardiola adalah anak didik Cruyyf, juga jebolan La Masia. Pada tahun-tahun awal kepelatihannya, Pep bahkan rela melepas bintang-bintang seperti Ronaldinho dan Deco. Ia lebih memilih Iniesta, Xavi dan Messi yang merupakan jebolan La Masia.
Itu dilakukannya demi menyempurnakan kekompakan di lapangan hijau. Hasilnya adalah 12 trofi selama dilatih Guardiola (2008-2010). Barca di masa Guardiola sukses mematahkan dominasi Real Madrid di La Liga. Maka, ketika Pep mengundurkan diri, banyak pihak menilainya sebagai petanda keruntuhan Barcelona.
Tapi itu tidak terjadi. Pengganti Pep, Tito Vilanova, sejauh ini berhasil mematahkan penilaian itu. Musim ini Barca jauh mengungguli Madrid dengan selisih 19 poin. Vilanova juga tak sekedar berbekal materi pemain warisan Guardiola. Dalam banyak laga, ia lebih sering menurunkan pemain-pemain muda didikan La Masia, seperti Martin Montoya, Marc Aregall dan Cristian Tello.
Tiki-taka ala Vilanova juga tidak sekaku Guardiola. Ia membuat tim berani memainkan umpan-umpan lambung nan jauh. Ruang permainan juga lebih melebar. Namun tidak meninggalkan ciri khasnya yang berupa kreativitas, penguasaan bola dan umpan-umpan pendek.
Ya,Vilanova bisa dibilang cukup sukses mewarisi tradisi tiki-taka yang sudah turun temurun. Timnya bahkan tetap tampil memukau meski dirinya terkapar di rumah sakit akibat penyakit kanker. Dan Barca akan semakin siap menuntaskan misi merebut trofi La Liga musim ini jika Vilanova pulih dan kembali melatih. Bisa jadi, Barca versi Vilanova akan semakin kuat dibanding era kepelatihan Guardiola. (ish)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPSI Harus Serahkan Pemain ke Timnas PSSI
Redaktur : Tim Redaksi